Pendahuluan
Al-Quran menyebut dirinya sebagai Hudan li al-nas, petunjuk bagi
segenap umat manusia. Akan tetapi, petunjuk al-Quran tersebut tidaklah dapat ditangkap
maknanya bila tanpa adanya penafsiran. Itulah sebabnya sejak al-Quran
diwahyukan hingga sekarang ini gerakan penafsiran
yang dilakukan oleh para ulama tidak pernah ada henti-hentinya. Hal ini terbukti dengan banyaknya karya-karya para ulama
yang dipersembahkan guna menyingkap dan menguak rahasia-rahasia yang terkandung
di dalamnya dengan menggunakan metode dan sudut pandang berlainan.
Tafsir bisa diartikan dengan al-iddahwa al-tabyin,
menjelaskan dan menerangkan, atau lebih lengkapnya adalah suatu ilmu yang
dengannya kitab Allah dapat dipahami, mengeluarkan makna-maknanya dan mengeluarkan
hukum-hukum serta hikmah-hikmahnya. Dapat juga diartikan dengan ilmu yang
membahas al-Quran al-Karim dari segi dalalahnya sejalan dengan apa yang
dikehendaki Allah, dalam batas kemampuan manusia. Dengan demikan, tafsir secara
sederhana dapat dipahami sebagai usaha manusia dalam memahami al-Quran.
Salah satu dari sekian banyak tafsir yang ada adalah tafsir al-Jami’
li Ahkam al-Quran karya al-Qurtubi, yang dikenal denganTafsir al-Qurtubi.
A. Biografi
Nama imam al-Qurthubi adalah Abu ‘Abdillah
Muhammad bin ahmad al-Anshari al-Maliki al-Qurthubi (w. 617 H/ 1273 M). beliu
lahir dilingkungan keluarga petani dicordoba pada masa kekuasaan Banin
Muwahhidun tahun 580 H/ 1184 M.[1] Informasi
tentang kehidupannya sedikit sekali diketahui. Dalam beberapa kitab thabaqat dan tarajim hanya terdapat
keterangan sangat singkat mengenai nama, karya dan tahun.
Mengenai sosok Imam al-Qurthubi, Syaikh
Adz-Dzahabi menjelaskan “dia adalah seorang imam yang memiliki ilmu yang luas
dan mendalam. Dia memiliki sejumlah karya yang sangat bermamfaat dan
menunjukkan betapa luas pengetahuannya dan sempurna kepandaiannya”. Beliau
meninggal dunia di Mesir pada malam senin, tepatnya pada tanggal 9 Syawal tahun
671 H. makamnya berada di El Meniya, tepatnya pada tanggal 9 Syawal tahun 671
H. makamnya berada di El Meniya, di timur sungai nil dan berbagai kalangan
sering kali mengunjungi makamnya. Sehingga pada tahun 1971 M disana dibangun
sebuah masjid sekaligus diabadikan nama imam al-Qurthubi pada masjid dengan
nama masjid al-Qurthubi.[2] Jika benar keterangan ‘Ali ‘Iyazi bahwa
al-Qurthubi lahir pada 580 H/ 1184 M, maka berarti al-Qurthubi hidup sampai
berusia lebih 89 tahun menurut kalender masehi atau kurang lebih 91 tahun
berdasarkan tahun hijriah.[3]
B. Guru-guru al-Quthubi
Di antara guru-guru al-Qurthubi adalah[4] :
1. Ibnu Rawwaj, yaitu al-Imam al-Muhaddits
(ahli hadits) Abu Muhammad Abdul Wahhab bin Rawwaj. Nam aslinya adalah Zhafir
bin Ali bin Futuh al-Azdi al-Iskandarani al-Maliki. Dia wafat pada tahun 648 H.
2. Ibnu al-Jumaizi[5] ,
yaitu al-Allamah Baha’uddin Abu al-Hasan Ali bin Hibatullah bin Salamah
al-Mashri Asy-Syafi’i. dia wafat pada tahun 649 H. Dia merupakan salah seorang
ahli dalam bidang hadits, fikih dan ilmu qira’at.
3. Abu al-Abbas Ahmad bin Umar bin Ibrahim
al-Maliki al-Qurthubi, wafat pada tahun 656 H. Dia adalah penulis kitab
al-Mufhim fi Syarh Shahih Muslim.
4. Al-Hasan al-Bakari, yaitu al-Hasan bin
Muhammad bin Muhammad bin Amaruk
at-Tarimi an-Naisaburi ad-Dimsyaqi, atau biasa dipanggil dengan nama Abu Ali
Shadruddin al-Bakari. Dia wafat pada tahaun 656 H.
C. Karya-karya al-Qurthubi[6]
Para ahli sejarah menyebutkan sejumlah hasil
karya al-Qurthubi selain kitabnya yang berjudul Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an, di
antaranya adalah:
1.
At-Tadzkirah fi Ahwal Al Mauta wa Umur Al Akhirah,
merupakan sebuah kitab yang masih terus dicetak hingga sekarang.
2.
At-Tidzkar fi afdhal Al Adzkar, merupakan sebuah kitab
yang masih dicetak hingga sekarang.
3.
Al Asna fi Syarh
Asma’illah Al Husna.
4.
Syarh At-Taqashshi.
5.
Al I’lam bi Maa fi
Din An-Nashara Min Al Mafashid wa Al Auham
Wa Izhhar Mahasin Din Al Islam.
6.
Qam’u Al Harsh bi Az-Zuhd wa Al Qana’ah.
7.
Risalah fi Alqam Al Hadits.
8.
Kitab Al
Aqdhiyyah.
9.
Al Mishbah fi Al Jam’I Baina Al Af’aal wa Ash-Shahhah.
Sebuah kitab tentang bahasa Arab yang
merupakan hasil ringkasan Qurthubi terhadap kitab Al Af’al karya Abu Al
Qasim Ali bin Ja’far Al Qaththa’ dan kitab aAsh-Shahhah karya Al Jauhari. Dalam
kitab tafsirnya, al-Qurthubi juga telah menyebutkan beberapa nama hasil
karyanya, di antaranya:
10. Al Muqtabas fi Syarh Muwaththa’ Malik bin
Anas.
11. Al Luma’ fi Syarh Al ‘Isyrinat An-Nabawiyyah.
D.
Sumber Penafsiran
Kitab Al-jami’
li-Ahkam al-Qur’an karangan al-Qurthubi dan kebanyakan kitab tafsir lainnya
sebenarnya tidak menggunakan satu sumber penafsran saja dari tiga sumber
penafsiran yang ada atau yang sudah biasa kita kenal yaitu sumber penafsiranbi
al-ma’tsur, bi al-ra’yi, dan bi al-isyari. Namun kita bisa
menilai sebuah kitab tafsir dari sumber yang lebih dominan digunakan dalam
sebuah kitab tafsir. Dan dalam Kitab Al-jami’ li-Ahkam al-Qur’an
karangan al-Qurthubi ini bisa kita definisikansebagai kitab tafsir yang menggunakan sumber penafsiran bi
al-ma’tsur (riwayah), hal ini bisa dibuktikan dari pembahasan yang ada
dalam kitab tersebut yang mana lebih banyak menggunakan hadis-hadis Nabi maupun
pendapat para sahabat[7]. Selain itu mengutip perkataan al-Qurthubi
pada pembahasan muqadimahnya, al-Qurthubi mengatakan kalimat berikut:
وشرطي في هذاالكتاب : إضافة الأقوالإلىقائليهاوالأحاديثإلىمصنفيهافإنهيقالمنبركةالعلمأنيضافالقولإلىقائله
Syarat saya dalam kitab ini adalah
menyandarkan semua perkataan kepada orang-orang yang mengatakannya dan hadis-hadis
kepada pengarangnya, karena sesunggunhnya dikataan bahwa diantara berkah ilmu
adalah menyandarkan perkataan kepada orang yang mengatakannya.[8]
Dengan
begitu karena al-Qurthubi menggunakan dasar sumber penafsiran bi al-ma’tsur
maka al-Qurthubi mengelompokan dasarnya yang meliputi: pertama, penafsiran
al-Qur’an dengan al-Qur’an yang merupakan dasar utama dan mempunyai
kredibilitas yang sangat kuat. Kedua, penafsiran al-Qur’an dengan
hadis-hadis Nabi. Bentuk-bentuk varian yang termasuk dalam kelompok ini adalah;
penafsiran Nabi tentang ayat –ayat al-Qur’an, jawaban atas pertanyaan para
sahabat, penafsiran yang berupa perbuatan Nabi, dan penjelasan makna bahasa
al-Qur’an oleh Nabi. Ketiga, penafsiran al-Qur’an dengan pendapat para
sahabat. Bentuk penafsiran mereka meliputi; penafsiran ayat al-Qur’an dengan
ayat al-Qur’an lainya olrh sahabat, penafsiran mereka berdasarkan al-sunah,
penafsiran merka melalui kaidah bahasa, oleh karena banyak dari kalangan bahasa
yang ahli dalam bidang bahasa, penafsiran mereka berdasarkan ijtuhad,
disebabkan ketika rasulllah wafat, maka persoalan yang dihadapi sudah tidak
dihadapkan kepada beliau lagi, melainkan ijtihad para sahabat. Dan penafsiran
para sahabat sudah tidak bisa diragukan lagi karena karena mereka sudah dikenal
para ulama sebagai orang-orang yang adil. Oleh karena itu para ulama mufasirin
menerima sumber penafiran bi al-ma’tsur dari para sahabat.[9]
E. Metode Penafsiran
Metode tafsir adalah cara-cara mufasir
dalam mencapai atau menangkap maksud
dalam ayat-ayat al-Qur’an. Dan metode yang digunakan oleh al-Qurthubi adalah
yaitu metode tahliliy[10]. karena
al-Qurthubi mencoba menjelaskan dan memetakan kandungan ayat-ayat al-Qur’an
dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur’an
sebagaimana yang tercantum didalam mushaf. Bukan berarti dengan tahliliy
yang digunakan oleh al-Qurthubi sehingga secara keseluruhan penafsirannya itu
bentuk tahliliy, namun metode ijmaliy pun terkadang menjadi cara
untuk menafsirkan al-Qur’an yang berarti secara ringkas dan dengan bahasa yang
komunikatif. Semisal pada surat Yunus;[11]
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# ôs% Nä3ø?uä!$y_
×psàÏãöq¨B
`ÏiB
öNà6În/§ Öä!$xÿÏ©ur $yJÏj9 Îû
ÍrßÁ9$#
Yèdur ×puH÷quur tûüÏYÏB÷sßJù=Ïj9 ÇÎÐÈ
Beliau menafsirkan kata موعظة
denagan وعظ (peringatan), sedangkan kalimat من ربكم
yang berarti al-Qur’an. Dan kalimat ورحمة dimaknai dengan النعمة berarti nikmat. Metode
muqaran juga dipakai oleh al-Qurthubi khususnya ketika menafsirkan ayat-ayat
ahkam.
Sebagaimana pada uraian sebelumnya, tafsir
al-Qurthubi dapat diklasifikasikan dalam tafsir yang menggunakan metode tahlili.
Disebut tafsir tahliliy karena ia menggunakan
corak uraian mendetail dari beberapa aspeknya: dari ilmu gramatika dan sastra
Arab, ilmu sebab Nuzul, nasikh-mansukh dan sebagainya. Namun bila dicermati lebih
dalam, sebenarnya metode tafsir semi mawdhu’i.[12] dikatakan
sebagai semi mawdhu’I karena dalam penafsiran ayat hukum, al-Qurthubi telah
mengkelompokkan ayat hukum tertentu dalam satu tema pembahasan meskipun ia tidak
menyebut secara tersurat tema tersebut. Namun kalau kembali menganalisa teori tafsir
al-mawdhu’i al-Farmawi, maka tafsir al-Qurthubi belum sepenuhnya termasuk
dalam tafsir maudhu’i.[13]
Sebagaimana Al-farmawi membagi beberapa metode
Al-Qur’an menjadi empat metode yaitu tahliliy, ijmaly, muqaran,
dan maudu’iy. Yang terkenal dari empat metode tersebut adalah metode tahliliy
dan maudu’iy. Metode tahliiy atau yang dinamai metode tajzi’iy
oleh Baqir Al-Shadr adalah suatu metode tafsir yang mufasirnya menjelaskan
kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya dan dari runtututan ayat
al-Qur’an sebagaimana yang tercantum dalam mushaf. Dalam metode ini seorang
mufasir yang menggunakan metode tahliliy menguraikan bermula dari arti
kosa kata yang digunakan, asbab al-nuzul, munasabah dan lain lainya yang
berhubungan langsung dengan teks atau kandungan ayat.[14]
Sedangkan tafsir ijmali yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara
global. Dengan metode ini mufassir hanya berupaya menjelaskan makna-makna
al-Qur’an dengan uraian singkat, menggunakan bahasa kominikatif sehingga mudah dicerna
bagi bembaca maupun pendengar.
F.
Corak penafsiran
Sesuai dengan namanya, tafsir Al-Jami’ Fi
Ahkam Al-Qur’an menafsirkan semua ayat-ayat Al Qur’an, bedanya dengan
kitab-kitab tafsir lain ia konsenterasi menafsirkan secara khusus ayat-ayat
yang mengandung hukum di dalam Al Qur’an. Tafsir ini merupakan salah satu kitab
tafsir terbaik yang menafsirkan ayat-ayat hukum di dalam Al Qur’an. Al-Qurthubi
menjelaskan metode yang dipergunakan dalam tafsir-nya, antara lain :
menjelaskan sebab turunnya ayat, menyebutkan perbedaan bacaan dan bahasa serta
menjelaskan tata bahasanya, mengungkapkan periwayatan hadits, mengungkapkan
lafaz-lafaz yang gharib di dalam Al Qur’an, memilah-milih perkataan fuqaha, dan
mengumpulkan pendapat ulama salaf dan pengikutnya.Berikut contoh
penafsiran al-Qurtubi memberikan
penjelasan panjang lebar mengenai persoalana-persoalan fiqh dapat diketemukakan
ketika ia membahas ayat Qs. Al-Baqarah (2): 43: yang ia bagi menjadi 34
masalah. Disini pemakalah mengambil poin masalah dengan nomor urut ke-16 dari
34 masalah yang dibagi al-Qurthubi yaitu tentang kebolehan seorang anak kecil
menjadi imam shalat asalkan ia memiliki bacaan yang bagus, berikut perkataan
beliau:
Kenam belas: Muslim meriwayatkan dari abu mas’ud, dari Nabi
SAW, beliau bersabda, “mereka diimamami oleh orag yang paling fasih diantara
mereka bacaanya terhadap kitab Allah. Jika mereka setara dalam hal bacaan, maka
orang yang paling mengetahui sunnah diantara mereka. Jika mereka setara dalam
hal sunnah, maka orang yang lebih dahulu hijrahnya. Jika mereka stara dalam hal
hijrah, maka orang yang lebih dahulu masuk islam. Janganlah orang menjadikan
seseorang (yang lain) sebagai imam didalam kekuasaanya, dan jangan lah dia
duduk di rumahnya diatas tempat
tidurnya, kecuali dengan izinya.[15]
Saya (al-Qurthubi) katakan,“mengangkat anak kecil menjadi imam adalah suatu
hal yang dibolehkan, jika anak kecil itu adalah seorang yang fasih bacaanya.
Tertera dalam shahih bukhari dari amru bin salamah, dia berkata: ‘Kami sering
berada di air tempat perlintasan orang-orang, dan kami sering berpapasan dengan
pengandara unta. Kami bertanya kepada mereka tentang apa yang terjadi terhadap
orang-orang, dan siapakah orang itu? Mereka menjawab: “Lelaki itu mengaku bahwa
Allah telah mengutusnya. Allah telah mewahyukan sesuatu kepadanya.” Aku hapal
perkataan it, seolah perkataan itu telah terbenam dalam dadaku. Sementara
orang-orang arab dinantikan masuk Islamnya. Mereka berkata, “tinggalkanlah
orang itu beserta kaumnya. Jika ia menang atas mereka(orang-orang kafir), maka
dia adalah seorang nabi yang jujur.”
Ketika penaklukan kota mekah terjadi, maka
masing-masing kaum segera masuk Islam. Sementara ayahku segera mendatangi
kaumku untuk mengislamkan mereka. Ketika ayahku tiba diaberkata, “Demi Allah,
sesungguhnya aku datang kepada kalian dari sisi Nabi Allah.” Ayahku berkata, “Lakukanlah
oleh kalian shalat pada waktu itu. Apabila (waktu) shalat itu tiba, maka
hendaklah seorang diantara kalian mengumandangkan adzan, dan hendaklah orang
yang paling banyak hafal al-Qur’an diantara kalian mengimamami kalian.
Mereka kemudian saling menatap, namun tidak
ada seorangpun yang lebih banyak menghafal al-Qur’an daripada aku, karena aku
menerima(nya) dari para pengendara unta itu. Kemudian mereka memajukan aku
kehadapan mereka. Saat itu aku adalah anak laki-laki berusia enam atau tujuh
tahun. Waktu itu aku memakai mantel. Apabila aku sujud, maka mantel itu menjadi
sempit/robek. Seorang wanita dari kalangan penduduk kemudian berkata, “tidakah
kalian akan menutupi dubur qari’ kalian dari kami.” Mereka kemudian membeli
(kain), lalu mereka membuat(nya) menjadi baju untukku. Aku tidak merasa bahagia
seperti kebahagiaanku karena mendapat baju itu.[16]
Demikianlah salah satu contoh peafsiran al-Qurthubi dari
sekian banyak contoh yang lainya yang bercorak ahkam atau hukum-hukum.
Penutup
Al Qurthubi adalah salah satu mufassir muslim yang dilahirkan Islam
dengan mempunyai pengetahuan luas yang selalu memperjuangkan Islam dibelahan barat
dunia. Dengan segenap kemampuannya ia mengumpulkan, dan menghafal hadits untuk menafsirkan ayat-ayat yang
berkenaan dengan hukum baik itu hukum fikih, ibadah dsb.
Dari persoalan-pesoalan yang telah diuraikan dalam beberapa bab di
atas dapat dicatat bahwa, pertama, Al-Qurthubi pengarang kitab tafsir al-Jami’
li Ahkam al-Quran adalah seorang mufasir yang bermazhab Maliki yang hidup di
Andalus. Kedua, tafsir yang ditulisnya tersebut menggunakan sistematika Mushafi,
metodeTahlili dan bercorak fiqhi mazhab Maliki dengan tidak terlalu terkait dengan
mazhabnya. Ketiga, adanya sejumlah keberatan terhadap model penafsiran yang
dilakukan oleh ahli hukum, karena terlalu bersifat atomistis dan harfiah sehingga
sering mengaburkan program besar al-Quran sebagai petunjuk dan pengatur seluruh
aspek kehidupan.
الآية : 187
{أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ
لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ
تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ
بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى
يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ
الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا
كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ}
فيه ست مسائل :
الأولى : قوله
تعالى : {أُحِلَّ لَكُمْ} لفظ "أحل" يقتضي أنه كان محرما قبل ذلك ثم
نسخ. روى أبو داود عن ابن أبي ليلى قال وحدثنا أصحابنا قال : وكان الرجل إذا أفطر
فنام قبل أن يأكل لم يأكل حتى يصبح ، قال : فجاء عمر فأراد امرأته فقالت : إني قد
نمت ، فظن أنها تعتل فأتاها. فجاء رجل من الأنصار فأراد طعاما فقالوا : حتى نسحن ؟
؟ لك شيئا فنام ، فلما أصبحوا أنزلت هذه الآية ، وفيها : {أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ
الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ} . وروى البخاري عن البراء قال : كان
أصحاب محمد صلى اللّه عليه وسلم إذا كان الرجل صائما فحضر الإفطار فنام قبل أن
يفطر لم يأكل ليلته ولا يومه حتى يمسي ، وأن قيس بن صرمة الأنصاري كان صائما - وفي
رواية : كان يعمل في النخيل بالنهار وكان صائما - فلما حضر الإفطار أتى امرأته
فقال لها : أعندك طعام ؟ قالت لا ، ولكن أنطلق فأطلب لك ، وكان يومه يعمل ، فغلبته
عيناه ، فجاءته امرأته فلما رأته قالت : خيبة لك فلما
نتصف النهار غشي
عليه ، فذكر ذلك للنبي صلى اللّه عليه وسلم فنزلت هذه الآية : {أُحِلَّ لَكُمْ
لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ} ففرحوا فرحا شديدا ، ونزلت :
{وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ
الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ} . وفي البخاري أيضا عن البراء قال : لما نزل
صوم رمضان كانوا لا يقربون النساء رمضان كله ، وكان رجال يخونون أنفسهم ، فأنزل
اللّه تعالى : {عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ
فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ} يقال : خان واختان بمعنى من الخيانة ، أي
تخونون أنفسكم بالمباشرة في ليالي الصوم. ومن عصى اللّه فقد خان نفسه إذ جلب إليها
العقاب. وقال القتبي : أصل الخيانة أن يؤتمن الرجل على شيء فلا يؤدي الأمانة فيه.
وذكر الطبري : أن عمر رضي اللّه تعالى عنه رجع من عند النبي صلى اللّه عليه وسلم
وقد سمر عنده ليلة فوجد امرأته قد نامت فأرادها فقالت له : قد نمت ، فقال لها : ما
نمت ، فوقع بها. وصنع كعب بن مالك مثله ، فغدا عمر على النبي صلى اللّه عليه وسلم
فقال : أعتذر إلى اللّه وإليك ، فإن نفسي زينت ؟ ؟ لي فواقعت أهلي ، فهل تجد لي من
رخصة ؟ فقال لي : "لم تكن حقيقا يا عمر" فلما بلغ بيته أرسل إليه فأنبأه
بعذره في آية من القرآن. وذكره النحاس ومكي ، وأن عمر نام ثم وقع بامرأته ، وأنه
أتى النبي صلى اللّه عليه وسلم فأخبره بذلك فنزلت : {عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ
كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ
بَاشِرُوهُنَّ} الآية.
الثانية : قوله
تعالى : {لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ} "ليلة" نصب على الظرف وهي اسم
جنس فلذلك أفردت.والرفث : كناية عن الجماع لأن اللّه عز وجل كريم يكني ، قاله ابن
عباس والسدي. وقال الزجاج : الرفث كلمة جامعة لكل ما يريد الرجل من امرأته ، وقال
الأزهري أيضا. وقال ابن عرفة : الرفث ههنا الجماع. والرفث : التصريح بذكر الجماع
والإعراب به. قال الشاعر :
ويرين من أنس
الحديث زوانيا ... وبهن عن رفث الرجال نفار
وقيل : الرفث
أصله قول الفحش ، يقال : رفث وأرفث إذا تكلم بالقبيح ، ومنه قول الشاعر :
ورب أسراب حجيج
كظم ... عن اللغا ورفث التكلم
وتعدى
"الرفث" بإلى في قوله تعالى جده : {الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ} . وأنت
لا تقول : رفثت إلى النساء ، ولكنه جيء به محمولا على الإفضاء الذي يراد به
الملابسة في مثل قوله : {وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ} [النساء : 21].
ومن هذا المعنى : {وَإِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ} [البقرة : 14] كما تقدم.
وقوله : {يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا} [التوبة : 35] أي يوقد ، لأنك تقول : أحميت
الحديدة في النار ، وسيأتي ، ومنه قوله : {فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ
عَنْ أَمْرِهِ} [النور : 63] حمل على معنى ينحرفون عن أمره أو يروغون عن أمره ،
لأنك تقول : خالفت زيدا. ومثله قوله تعالى : {وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيماً}
[الأحزاب : 43] حمل على معنى رؤوف في نحو {بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَحِيمٌ}
[التوبة : 128] ، ألا ترى أنك تقول : رؤفت به ، ولا تقول رحمت به ، ولكنه لما
وافقه في المعنى نزل منزلته في التعدية. ومن هذا الضرب قول أبي كبير الهذلي :
حملت به في ليلة
مزؤودة
كرها وعقد
نطاقها لم يحلل
عدى
"حملت" بالباء ، وحقه أن يصل إلى المفعول بنفسه ، كما جاء في التنزيل :
{حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً} [الأحقاف : 15] ، ولكنه قال :
حملت به ، لأنه في معنى حبلت به.
الثالثة : قوله
تعالى : {هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ} ابتداء وخبر ، وشددت النون من "هن"
لأنها بمنزلة الميم والواو في المذكر. {وأنْتُمُ لِبَاسٌ لَهُنَّ} أصل اللباس في
الثياب ، ثم سمي امتزاج كل واحد من الزوجين بصاحبه لباسا ، لانضمام الجسد
وامتزاجهما وتلازمهما تشبيها بالثوب. وقال النابغة الجعدي :
إذا ما الضجيع
ثنى جيدها ... تداعت فكانت عليه لباسا
وقال أيضا :
لبست أناسا
فأفنيتهم ... وأفنيت بعد أناس أناسا
وقال بعضهم :
يقال لما ستر الشيء وداراه : لباس. فجائز أن يكون كل واحد منهما سترا لصاحبه عما
لا يحل ، كما ورد في الخبر. وقيل : لأن كل واحد منهما ستر لصاحبه فيما يكون بينهما
من الجماع من أبصار الناس. وقال أبو عبيد وغيره : يقال للمرأة هي لباسك وفراشك
وإزارك. قال رجل لعمر بن الخطاب :
لا أبلغ أبا حفص
رسولا ... فدى لك من أخي ثقة إزاري
قال أبو عبيد :
أي نسائي. وقيل نفسي. وقال الربيع : هن فراش لكم ، وأنتم لحاف لهن. مجاهد : أي سكن
لكم ، أي يسكن بعضكم إلى بعض.
الرابعة : قوله
تعالى : {عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ} يستأمر
بعضكم بعضا في مواقعة المحظور من الجماع والأكل بعد النوم في ليالي الصوم ، كقوله
تعالى : {تَقْتُلُونَ أَنْفُسَكُمْ} [البقرة : 85] يعني يقتل بعضكم بعضا. ويحتمل
أن يريد به كل واحد منهم في نفسه بأنه يخونها ، وسماه خائنا لنفسه من حيث كان ضرره
عائدا عليه ، كما تقدم. وقوله : {فَتَابَ عَلَيْكُمْ} يحتمل معنيين : أحدهما -
قبول التوبة من خيانتهم لأنفسهم. والآخر - التخفيف عنهم بالرخصة والإباحة ، كقوله
تعالى : {عَلِمَ أَنْ لَنْ تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ} [المزمل : 20] يعني خفف
عنكم. وقوله عقيب القتل الخطأ : {فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ
مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ} [النساء : 92] يعني تخفيفا ، لأن القاتل
خطأ لم يفعل شيئا تلزمه التوبة منه ، وقال تعالى : {لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى
النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالأَنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ}
[التوبة : 117] وإن لم يكن من النبي صلى اللّه عليه وسلم ما يوجب التوبة منه.
وقوله : {فعَفَا عَنْكُمْ} يحتمل العفو من الذنب ، ويحتمل التوسعة والتسهيل ، كقول
النبي صلى اللّه عليه وسلم : "أول الوقت رضوان اللّه وآخره عفو اللّه"
يعني تسهيله وتوسعته. فمعنى {عَلِمَ اللَّهُ} أي علم وقوع هذا منكم مشاهدة
{فَتَابَ عَلَيْكُمْ} بعد ما وقع ، أي خفف عنكم {وَعَفَا} أي سهل. و
{تَخْتَانُونَ} من الخيانة ، كما تقدم. قال ابن العربي : "وقال علماء الزهد :
وكذا فلتكن العناية وشرف المنزلة ، خان نفسه عمر رضي اللّه عنه فجعلها اللّه تعالى
شريعة ، وخفف من أجله عن الأمة فرضي اللّه عنه وأرضاه".
قوله تعالى :
{فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ} كناية عن الجماع ، أي قد أحل لكم ما حرم عليكم. وسمي
الوقاع مباشرة لتلاصق البشرتين فيه. قال ابن العربي : وهذا يدل على أن سبب الآية
جماع عمر رضي اللّه عنه لا جوع قيس ، لأنه لو كان السبب جوع قيس لقال : فالآن كلوا
، ابتدأ به لأنه المهم الذي نزلت الآية لأجله.
الخامسة : قوله
تعالى : {وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ} قال ابن عباس ومجاهد والحكم بن
عيينة وعكرمة والحسن والسدي والربيع والضحاك : معناه وابتغوا الولد ، يدل عليه أنه
عقيب قوله : {فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ} . وقال ابن عباس : ما كتب اللّه لنا هو
القرآن. الزجاج : أي ابتغوا القرآن بما أبيح لكم فيه وأمرتم به. وروي عن ابن عباس
ومعاذ بن جبل أن المعنى وابتغوا ليلة القدر. وقيل : المعنى اطلبوا الرخصة والتوسعة
، قاله قتادة. قال ابن عطية : وهو قول حسن. وقيل : {وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ
اللَّهُ لَكُمْ} من الإماء والزوجات. وقرأ الحسن البصري والحسن بن قرة
"واتبعوا" من الاتباع ، وجوزها ابن عباس ، ورجح "ابتغوا" من
الابتغاء.
السادسة : قوله
تعالى : {وَكُلُوا وَاشْرَبُوا} هذا جواب نازلة قيس ، والأول جواب عمر ، وقد ابتدأ
بنازلة عمر لأنه المهم فهو المقدم.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul karim
M. Shihab, Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 2014.
Ali Sybromalisi,
Faizah, MA. Azizy, Jauhar MA. Membahas Kitab Tafsir Ciputat: LP. UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Ibrahim
Al-hifnawi, Muhammad .Hamid Utsman, Muhammad.TafsirAl-Qurthubi. Jakarta:
Pustaka Azam, 2007.
Al-Qaththa, Manna’ Khalil, Mabahist fi Ulumil Qur’an,(Surabaya:
al-Hidayah, 1973).
[1]Sayyid Muhammad Ali Iyazi, Al-Mufassirun:
HayatuhumwaManhajuhum, Teheran: Mu’assasah al-Thiba’ahwa al-Nasyr, 1414 H,
h. 408
[2]Al-Qashabi Mahmud Zalath, al-QurthubiwaManhajuhum fi
Tafsir, kuwait: Dar al-Qalam, 1981, h. 6 dan 30
[3]Mohammad ArjaImroni, Corak Tafsir Ayat Ahkam, Hasil disertai UIN Pasca Sarjana Syarif Hidayatullah, 2008, tidak diterbitkan, h. 54
[7]Faizah Ali Syibromasili, MA, Jauhar Azizy, Ma, Membahas Kitab Tafsir
Klasik-Modern hal. 22.
[8]Muhammad Ibrahim Al-hifnawi, Muhammad Hamid Utsman, TafsirAl-Qurthubi(Jakarta,
Pustaka Azam) hal. 30
[12]Lihat mohammad Arja Imroni, Corak Tafsir Ayat Ahkam
al-Qurthbi, Disertasi Sekolah Pasca Sarjana
UIN Syahid, tidak diterbitkan. H. 239
[13]Faizah
Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,
(ciputat: LP UIN Jakarta, 2010), hal. 25-28.
[14]M. Quraisy shihab, Membumikan Al-Qur’an(Bandung: Mizan, 2014)hal.
130
[15]Muhammad Ibrahim Al-hifnawi, Muhammad Hamid Utsman, TafsirAl-Qurthubi (Jakarta,
Pustaka Azam) hal. 776
No comments:
Post a Comment