Wednesday, October 31, 2018

Biografi Umar Ibn Khattab RA




'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu (wafat 23 H) Nama lengkapnya adalah Umar bin Khaththab bin Nufail bin Abdul Izzy bin Rabah bin Qirath bin Razah bin Adi bin Ka’ab bin Luay al-Quraisy al-‘Adawy. Terkadang dipanggil dengan Abu Hafash dan digelari dengan al-Faruq. Ibunya bernama Hantimah binti Hasyim bin al-Muqhirah al-Makhzumiyah. Lahir pada tahun 581 M di Makkah, Jazirah arab. Dan wafat 25 Dzulhijjah 23 H / 7 November 644 M.

Awal Keislamanya.
Umar masuk Islam ketika para penganut Islam kurang lebih sekitar 40 (empat puluh) orang terdiri dari laki-laki dan perempuan.  Imam Tirmidzi, Imam Thabrani dan Hakim telah meriwayatkan dengan riwayat yang sama bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam telah berdo’a,” Ya Allah, muliakanlah agama Islam ini dengan orang yang paling Engkau cintai diantara kedua orang ini, yaitu Umar bin al-Khaththab atau Abu Jahal ‘Amr bin Hisyam.”.
Berkenaan dengan masuknya Umar bin al-Khaththab ke dalam Islam yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad yang diungkap oleh Imam Suyuti dalam kitab “ Tarikh al-Khulafa’ ar-Rasyidin” sebagai berikut:
Anas bin Malik berkata:” Pada suatu hari Umar keluar sambil menyandang pedangnya, lalu Bani Zahrah bertanya” Wahai Umar, hendak kemana engkau?,” maka Umar menjawab, “ Aku hendak membunuh Muhammad.” Selanjutnya orang tadi bertanya:” Bagaimana dengan perdamaian yang telah dibuat antara Bani Hasyim dengan Bani Zuhrah, sementara engkau hendak membunuh Muhammad”. Lalu orang tadi berkata,” Tidak kau tahu bahwa adikmu dan saudara iparmu telah meninggalkan agamamu”. Kemudian Umar pergi menuju rumah adiknya dilihatnya adik dan iparnya sedang membaca lembaran Al-Quran, lalu Umar berkata, “barangkali keduanya benar telah berpindah agama”,. Maka Umar melompat dan menginjaknya dengan keras, lalu adiknya (Fathimah binti Khaththab) datang mendorong Umar, tetapi Umar menamparnya dengan keras sehingga muka adiknya mengeluarkan darah.
Kemudian Umar berkata: “Berikan lembaran (al-Quran) itu kepadaku, aku ingin membacanya”, maka adiknya berkata.” Kamu itu dalam keadaan najis tidak boleh menyentuhnya kecuali kamu dalam keadaan suci, kalau engaku ingin tahu maka mandilah (berwudhulah/bersuci).”. Lalu Umar berdiri dan mandi (bersuci) kemudian membaca lembaran (al-Quran) tersebut yaitu surat Thaha sampai ayat,” Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada tuhanselain Aku, maka sembahlah Aku dirikanlah Shalat untuk mengingatku.” (Qs.Thaha:14). Setelah itu Umar berkata,” Bawalah aku menemui Muhammad.”. Mendengar perkataan Umar tersebut langsung Khabbab keluar dari sembunyianya seraya berkata:”Wahai Umar, aku merasa bahagia, aku harap do’a yang dipanjatkan Nabi pada malam kamis menjadi kenyataan, Ia (Nabi) berdo’a “Ya Allah, muliakanlah agama Islam ini dengan orang yang paling Engkau cintai diantara kedua orang ini, yaitu Umar bin al-Khaththab atau Abu Jahal ‘Amr bin Hisyam.”. Lalu Umar berangkat menuju tempat Muhammad Shallallahu alaihi wassalam, didepan pintu berdiri Hamzah, Thalhah dan sahabat lainnya. Lalu Hamzah seraya berkata,” jika Allah menghendaki kebaikan baginya, niscaya dia akan masuk Islam, tetapi jika ada tujuan lain kita akan membunuhnya”. Lalu kemudian Umar menyatakan masuk Islam dihadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Lalu bertambahlah kejayaan Islam dan Kaum Muslimin dengan masuknya Umar bin Khaththab, sebagaimana ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Mas’ud, seraya berkata,” Kejayaan kami bertambah sejak masuknya Umar.”. Umar turut serta dalam peperangan yang dilakukan bersama Rasulullah, dan tetap bertahan dalam perang Uhud bersama Rasulullah sebagaimana dijelaskan oleh Imam Suyuthi dalam “Tarikh al-Khulafa’ar Rasyidin”.
Rasulullah memberikan gelar al-Faruq kepadanya, sebagaimana ini diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dari Dzakwan, seraya dia berkata,” Aku telah bertanya kepada Aisyah, “ Siapakah yang memanggil Umar dengan nama al-Faruq?”, maka Aisyah menjawab “Rasulullah”.
Hadist Imam Bukhari dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:” Sungguh telah ada dari umat-umat sebelum kamu para pembaharu, dan jika ada pembaharu dari umatku niscaya ‘Umarlah orangnya”. Hadist ini dishahihkan oleh Imam Hakim. Demikian juga Imam Tirmidzi telah meriwayatkan dari Uqbah bin Amir bahwa Nabi bersabda,” Seandainya ada seorang Nabi setelahku, tentulah Umar bin al-Khaththab orangnya.”.
Diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Ibnu Umar dia berkata,” Nabi telah bersabda:”Sesungguhnya Allah telah mengalirkan kebenaran melalui lidah dan hati Umar”. Anaknya Umar (Abdullah) berkata,” Apa yang pernah dikatakan oleh ayahku (Umar) tentang sesuatu maka kejadiannya seperti apa yang diperkirakan oleh ayahku”.

Keberaniannya
Riwayat dari Ibnu ‘Asakir telah meriwayatkan dari Ali, dia berkata,” Aku tidak mengetahui seorangpun yang hijrah dengan sembunyi sembunyi kecuali Umar bi al-Khaththab melakukan dengan terang terangan”. Dimana Umar seraya menyandang pedang dan busur anak panahnya di pundak lalu dia mendatangi Ka’bah dimana kaum Quraisy sedang berada di halamannya, lalu ia melakukan thawaf sebanyak 7 kali dan mengerjakan shalat 2 rakaat di maqam Ibrahim.
Kemudian ia mendatangi perkumpulan mereka satu persatu dan berkata,” Barang siapa orang yang ibunya merelakan kematiannya, anaknya menjadi yatim dan istrinya menjadi janda, maka temuilah aku di belakang lembah itu”. Kesaksian tersebut menunjukan keberanian Umar bin Khaththab Radhiyallahu’Anhu.

Wafatnya
Pada hari rabu bulan Dzulhijah tahun 23 H ia wafat, ia ditikam ketika sedang melakukan Shalat Subuh beliau ditikam oleh seorang Majusi yang bernama Abu Lu’luah budak milik al-Mughirah bin Syu’bah diduga ia mendapat perintah dari kalangan Majusi. Umar dimakamkan di samping Nabi dan Abu Bakar ash Shiddiq, beliau wafat dalam usia 63 tahun.

Disalin dari Biografi Umar Ibn Khaththab dalam Tahbaqat Ibn Sa’ad, Tarikh al-Khulafa’ar Rasyidin Imam Suyuthi


Tuesday, October 30, 2018

Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq



    Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhyiallahu 'anhu (wafat 13 H) Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Utsman bin Amir bin Amru bin Ka`ab bin Sa`ad bin Taim bin Murrah bin Ka`ab bin Lu`ai bin Ghalib bin Fihr al-Qurasy at-Taimi – radhiyallahu`anhu. Bertemu nasabnya dengan Nabi pada kakeknya Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai. Abu Bakar adalah shahabat Rasulullah – shalallahu`alaihi was salam – yang telah menemani Rasulullah sejak awal diutusnya beliau sebagai Rasul, beliau termasuk orang yang awal masuk Islam. Abu Bakar memiliki julukan “ash-Shiddiq” dan “Atiq”.
Ada yang berkata bahwa Abu Bakar dijuluki “ash-Shiddiq” karena ketika terjadi peristiwa isra` mi`raj, orang-orang mendustakan kejadian tersebut, sedangkan Abu Bakar langsung membenarkan.
Allah telah mempersaksikan persahabatan Rasulullah dengan Abu Bakar dalam Al-Qur`an, yaitu dalam firman-Nya : “…sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada sahabatnya: `Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita’.” (QS at-Taubah : 40)
`Aisyah, Abu Sa’id dan Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini mengatakan : “Abu Bakar-lah yang mengiringi Nabi dalam gua tersebut.
Allah juga berfirman : “Dan orang yang membawa kebenaran dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (az-Zumar : 33)
Al-Imam adz-Dzahabi setelah membawakan ayat ini dalam kitabnya al-Kabaa`ir, beliau meriwayatkan bahwa Ja`far Shadiq berujar :”Tidak ada perselisihan lagi bahwa orang yang datang dengan membawa kebenaran adalah Rasulullah, sedangkan yang membenarkannya adalah Abu Bakar. Masih adakah keistimeaan yang melebihi keistimeaannya di tengah-tengah para Shahabat?”
Dari Amru bin al-Ash radhiyallahu`anhu, bahwaRasulullah mengutusnya atas pasukan Dzatus Salasil : “Aku lalu mendatangi beliau dan bertanya “Siapa manusia yang paling engkau cintai?”beliau bersabda :”Aisyah” aku berkata : “kalau dari lelaki?” beliau menjawab : “ayahnya (Abu Bakar)” aku berkata : “lalu siapa?” beliau menjawab: “Umar” lalu menyebutkan beberapa orang lelaki.” (HR.Bukhari dan Muslim).

“Sesungguhnya Allah telah menjadikanku sebagai kekasih-Nya, sebagaimana Dia menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya. Dan kalau saja aku mengambil dari umatku sebagai kekasih, akan aku jadikan Abu Bakar sebagai kekasih.”(HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Sa`id radhiyallahu`anhu, bahwa Rasulullah duduk di mimbar, lalu bersabda :”Sesungguhnya ada seorang hamba yang diberi pilihan oleh Allah, antara diberi kemewahan dunia dengan apa yang di sisi-Nya. Maka hamba itu memilih apa yang di sisi-Nya” lalu Abu bakar menangis dan menangis, lalu berkata :”ayah dan ibu kami sebagai tebusanmu” Abu Sa`id berkata : “yang dimaksud hamba tersebut adalah Rasulullah, dan Abu Bakar adalah orang yang paling tahu diantara kami” Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya orang yang paling banyak memberikan perlindungan kepadaku dengan harta dan persahabatannya adalah Abu Bakar. Andaikan aku boleh mengambil seorang kekasih (dalam riwayat lain ada tambahan : “selain rabb-ku”), niscaya aku akan mengambil Abu Bakar sebagai kekasihku. Tetapi ini adalah persaudaraan dalam Islam. Tidak ada di dalam masjid sebuah pintu kecuali telah ditutup, melainkan hanya pintu Abu Bakar saja (yang masih terbuka).”(HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya Allah telah mengutusku kepada kalian semua. Namun kalian malah berkata `kamu adalah pendusta’. Sedangkan Abu Bakar membenarkan (ajaranku). Dia telah membantuku dengan jiwa dan hartanya. Apakah kalian akan meninggalkan aku (dengan meninggalkan) shahabatku?” Rasulullah mengucapkan kalimat itu 2 kali. Sejak itu Abu bakar tidak pernah disakiti (oleh seorangpun dari kaum muslimin).(HR. Bukhari)

Masa Kekhalifahan
Dalam riwayat al-Bukhari diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu`anha, bahwa ketika Rasulullah wafat, Abu Bakar datang dengan menunggang kuda dari rumah beliau yang berada di daerah Sunh. Beliau turun dari hewan tunggangannya itu kemudian masuk ke masjid. Beliau tidak mengajak seorang pun untuk berbicara sampai akhirnya masuk ke dalam rumah Aisyah. Abu Bakar menyingkap wajah Rasulullah yang ditutupi dengan kain kemudian mengecup keningnya. Abu Bakar pun menangis kemudian berkata : “demi ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, Allah tidak akan menghimpun dua kematian pada dirimu. Adapun kematian yang telah ditetapkan pada dirimu, berarti engkau memang sudah meninggal.”Kemudian Abu Bakar keluar dan Umar sedang berbicara dihadapan orang-orang. Maka Abu Bakar berkata : “duduklah wahai Umar!” Namun Umar enggan untuk duduk. Maka orang-orang menghampiri Abu Bakar dan meninggalkan Umar. Abu Bakar berkata : “Amma bad`du, barang siapa diantara kalian ada yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah mati. Kalau kalian menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tidak akan pernah mati.
Allah telah berfirman :
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS Ali Imran : 144)
Ibnu Abbas radhiyallahu`anhuma berkata : “demi Allah, seakan-akan orang-orang tidak mengetahui bahwa Allah telah menurunkan ayat ini sampai Abu Bakar membacakannya. Maka semua orang menerima ayat Al-Qur`an itu, tak seorangpun diantara mereka yang mendengarnya melainkan melantunkannya.”
Sa`id bin Musayyab rahimahullah berkata : bahwa Umar ketika itu berkata : “Demi Allah, sepertinya aku baru mendengar ayat itu ketika dibaca oleh Abu Bakar, sampai-sampai aku tak kuasa mengangkat kedua kakiku, hingga aku tertunduk ke tanah ketika aku mendengar Abu Bakar membacanya. Kini aku sudah tahu bahwa nabi memang sudah meninggal.”
Dalam riwayat al-Bukhari lainnya, Umar berkata : “maka orang-orang menabahkan hati mereka sambil tetap mengucurkan air mata. Lalu orang-orang Anshor berkumpul di sekitar Sa`ad bin Ubadah yang berada di Saqifah Bani Sa`idah” mereka berkata : “Dari kalangan kami (Anshor) ada pemimpin, demikian pula dari kalangan kalian!” maka Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah bin al-Jarroh mendekati mereka. Umar mulai bicara, namun segera dihentikan Abu Bakar. Dalam hal ini Umar berkata : “Demi Allah, yang kuinginkan sebenarnya hanyalah mengungkapkan hal yang menurutku sangat bagus. Aku khawatir Abu Bakar tidak menyampaikannya” Kemudian Abu Bakar bicara, ternyata dia orang yang terfasih dalam ucapannya, beliau berkata : “Kami adalah pemimpin, sedangkan kalian adalah para menteri.” Habbab bin al-Mundzir menanggapi : “Tidak, demi Allah kami tidak akan melakukannya, dari kami ada pemimpin dan dari kalian juga ada pemimpin.” Abu Bakar menjawab : “Tidak, kami adalah pemimpin, sedangkan kalian adalah para menteri. Mereka (kaum Muhajirin) adalah suku Arab yang paling adil, yang paling mulia dan paling baik nasabnya. Maka baiatlah Umar atau Abu Ubaidah bin al-Jarroh.”Maka Umar menyela : “Bahkan kami akan membai`atmu. Engkau adalah sayyid kami, orang yang terbaik diantara kami dan paling dicintai Rasulullah.” Umar lalu memegang tangan Abu Bakar dan membai`atnya yang kemudian diikuti oleh orang banyak. Lalu ada seorang yang berkata : “kalian telah membunuh (hak khalifah) Sa`ad (bin Ubadah).” Maka Umar berkata : “Allah yang telah membunuhnya.” (Riwayat Bukhari)
Menurut `ulama ahli sejarah, Abu Bakar menerima jasa memerah susu kambing untuk penduduk desa. Ketika beliau telah dibai`at menjadi khalifah, ada seorang wanita desa berkata : “sekarang Abu Bakar tidak akan lagi memerahkan susu kambing kami.” Perkataan itu didengar oleh Abu Bakar sehingga dia berkata : “tidak, bahkan aku akan tetap menerima jasa memerah susu kambing kalian. Sesungguhnya aku berharap dengan jabatan yang telah aku sandang sekarang ini sama sekali tidak merubah kebiasaanku di masa silam.” Terbukti, Abu Bakar tetap memerahkan susu kambing-kambing mereka. 
Ketika Abu Bakar diangkat sebagai khalifah, beliau memerintahkan Umar untuk mengurusi urusan haji kaum muslimin. Barulah pada tahun berikutnya Abu Bakar menunaikan haji. Sedangkan untuk ibadah umroh, beliau lakukan pada bulan Rajab tahun 12 H. beliau memasuki kota Makkah sekitar waktu dhuha dan langsung menuju rumahnya. Beliau ditemani oleh beberapa orang pemuda yang sedang berbincang-bincang dengannya. Lalu dikatakan kepada Abu Quhafah (Ayahnya Abu Bakar) : “ini putramu (telah datang)!”
Maka Abu Quhafah berdiri dari tempatnya. Abu Bakar bergegas menyuruh untanya untuk bersimpuh.  Beliau turun dari untanya ketika unta itu belum sempat bersimpuh dengan sempurna sambil berkata : “wahai ayahku, janganlah anda berdiri!” Lalu Abu Bakar memeluk Abu Quhafah dan mengecup keningnya. Tentu saja Abu Quhafah menangis sebagai luapan rasa bahagia dengan kedatangan putranya tersebut.
Setelah itu datanglah beberapa tokoh kota Makkah seperti Attab bin Usaid, Suhail bin Amru, Ikrimah bin Abi Jahal, dan al-Harits bin Hisyam. Mereka semua mengucapkan salam kepada Abu Bakar : “Assalamu`alaika wahai khalifah Rasulullah!” mereka semua menjabat tangan Abu Bakar. Lalu Abu Quhafah berkata : “wahai Atiq (julukan Abu Bakar), mereka itu adalah orang-orang (yang baik). Oleh karena itu, jalinlah persahabatan yang baik dengan mereka!” Abu Bakar berkata : “Wahai ayahku, tidak ada daya dan upaya kecuali hanya dengan pertolongan Allah. Aku telah diberi beban yang sangat berat, tentu saja aku tidak akan memiliki kekuatan untuk menanggungnya kecuali hanya dengan pertolongan Allah.” Lalu Abu Bakar berkata : “Apakah ada orang yang akan mengadukan sebuah perbuatan dzalim?” Ternyata tidak ada seorangpun yang datang kepada Abu Bakar untuk melapor sebuah kedzaliman. Semua orang malah menyanjung pemimpin mereka tersebut.

Wafatnya
Menurut para `ulama ahli sejarah Abu Bakar meninggal dunia pada malam selasa, tepatnya antara waktu maghrib dan isya pada tanggal 8 Jumadil awal 13 H. Usia beliau ketika meninggal dunia adalah 63 tahun. Beliau berwasiat agar jenazahnya dimandikan oleh Asma` binti Umais, istri beliau. Kemudian beliau dimakamkan di samping makam Rasulullah. Umar mensholati jenazahnya diantara makam Nabi dan mimbar (ar-Raudhah). Sedangkan yang turun langsung ke dalam liang lahat adalah putranya yang bernama Abdurrahman (bin Abi Bakar), Umar, Utsman, dan Thalhah bin Ubaidillah.

Sumber:
• Al-Bidayah wan Nihayah, Masa Khulafa’ur Rasyidin Tartib wa Tahdzib Kitab al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir.
• Shifatush-Shofwah karya Ibnul Jauzi.
• Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah
• Al-Kabaa`ir karya Adz-Dzahabi

Ibadah Hanya Milik Allah


Tidak Ada Satupun Yang Berhak Disembah Selain Allah

          Firman Allah Subhanahu wata’ala :
]أيشركون ما لا يخلق شيئا وهم يخلقون ولا يستطيعون لهم نصرا ولا أنفسهم ينصرون[
          “Apakah mereka mempersekutukan (Allah) dengan berhala-berhala yang tidak dapat menciptakan sesuatupun ? sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang, dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah   penyembahnya  dan kepada dirinya sendiripun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” (QS. Al A’raf, 191-192).
]والذين تدعون من دونه ما يملكون من قطمير إن تدعوهم لا يسمعوا دعاءكم ولو سمعوا ما استجابوا لكم ويوم القيامة يكفرون بشرككم ولا ينبئك مثل خبير[
          “Dan sesembahan-sesembahan yang kalian mohon selain Allah, tidak memiliki apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tidak akan mendengar seruanmu itu, kalaupun mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu, dan pada hari kiamat meraka akan mengingkari kemusyrikanmu, dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh yang Maha Mengetahui.” (QS. Fathir 13-14).

Diriwayatkan dalam shoheh (Bukhori dan Muslim) dari Anas bin Malik, ia berkata :
شج النبي  يوم أحد، وكسرت رباعيته، فقال : " كيف يفلح قوم شجوا نبيهم "، فنـزلت ] ليس لك من الأمر شيء
“Ketika perang uhud Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam terluka kepalanya, dan pecah gigi serinya, maka beliau bersabda : “Bagaimana akan beruntung suatu kaum yang melukai Nabinya ?” kemudian turunlah ayat : “Tak ada hak apapun bagimu dalam urusan mereka itu”. (QS. Ali Imran 128).”
Dan diriwayatkan dalam shoheh Bukhori Ibnu Umar Radhiallahu’anhu bahwa ia  mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda ketika beliau berdiri dari ruku’ pada rakaat yang terahir dalam sholat shubuh :
اللهم العن فلانا وفلانا "، بعد ما يقول :" سمع الله لمن حمده ربنا لك الحمد "، فأنزل الله ] ليس لك من الأمر شيء.
“Ya Allah, laknatilah si fulan dan sifulan”, setelah beliau mengucapkan : سمع الله لمن حمده ربنا لك الحمد , setelah itu turunlah firman Allah :
]ليس لك من الأمر شيء[
“Tak ada hak apapun bagimu dalam urusan mereka itu”.

Dalam riwayat yang lain : “Beliau mendoakan semoga Shofwan bin Umayah, Suhail bin Amr, dan Al Harits bin Hisyam dijauhkan dari rahmat Allah”, maka  turunlah ayat :
]ليس لك من الأمر شيء[
“Tak ada hak apapun bagimu dalam urusan mereka itu”.

Diriwayatkan pula dalam shoheh Bukhori dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu ia berkata : “ketika diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam firman Allah Subhanahu wata’ala :
]وأنذر عشيرتك الأقربين[
“Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat” (QS. Asy Syu’ara, 214)

Berdirilah beliau dan bersabda : “Wahai orang-orang quraisy, tebuslah diri kamu sekalian (dari siksa Allah dengan memurnikan ibadah kepadaNya). sedikitpun aku tidak bisa berbuat apa-apa dihadapan Allah untuk kalian. Wahai Abbas bin Abdul Mutholib, sedikitpun aku tidak bisa berbuat apa-apa untukmu dihadapan Allah, wahai Shofiyah bibi Rasulullah, sedikitpun aku tidak bisa berbuat apa-apa untukmu  dihadapan Allah nanti, wahai Fatimah binti Rasulullah, mintalah kepadaku apa saja yang kau kehendaki, tapi sedikitpun aku tidak bisa berbuat apa-apa untukmu  dihadapan Allah nanti”.



        Kandungan bab ini :
  1. Penjelasan tentang kedua ayat tersebut diatas ([1]).
  2. Kisah perang uhud.
  3. Rasulullah, pemimpin para rasul, dalam sholat subuh telah membaca qunut sedang para sahabat dibelakangnya mengamini.
  4. Orang-orang yang beliau doakan semoga Allah menjauhkan rahmatNya dari mereka adalah orang-orang kafir.
  5. Mereka telah melakukan perbuatan yang tidak dilakukan oleh orang-orang kafir yang lain, antara lain melukai kepala Rasulullah, dan berupaya untuk membunuh beliau, serta mengkoyak-koyak tubuh para korban  yang  terbunuh, padahal yang terbunuh itu adalah sanak famili mereka.
  6. Terhadap peristiwa itulah Allah menurunkan firmanNya beliau :
]ليس لك من الأمر شيء[
  1. Allah berfirman : [أو يتوب عليهم أو يعذبهم]
        “Atau Allah terima taubat mereka, atau menyiksa mereka” (QS. Ali Imran, 128).
       Kemudian Allah pun menerima taubat mereka, dengan masuknya mereka kedalam agama Islam, dan menjadi orang orang yang beriman.
  1. Dianjurkannya melakukan qunut nazilah, yaitu : qunut yang dilakukan ketika umat Islam dalam keadaan mara bahaya.
  2. Menyebutkan nama-nama mereka beserta nama orang tua mereka ketika didoakan terlaknat di dalam sholat, tidak membatalkan sholat.
  3. Boleh melaknat orang kafir tertentu didalam qunut.
  4. Kisah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam ketika diturunkan kepada beliau firman Allah “Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat”.
  5. Kesungguhan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dalam hal ini, sehingga beliau melakukan sesutu yang menyebabkan dirinya dituduh gila, demikian halnya apabila dilakukan oleh orang mukmin pada masa sekarang.
  6. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam memperingatkan keluarganya yang paling jauh kemudian yang terdekat dengan sabdanya : “sedikitpun Aku tidak bisa berbuat apa-apa untukmu dihadapan Allah nanti” sampai beliau bersabda : “wahai Fatimah putri Rasul, aku tidak bisa berbuat untukmu apa-apa dihadapan Allah nanti”.
  7. Jika beliau sebagai pemimpin para rasul telah berterus terang tidak bisa membela putrinya sendiri pemimpin kaum wanita di jagat raya ini, dan jika orang mengimani  bahwa apa yang beliau katakan itu benar, kemudian  jika dia memperhatikan  apa yang terjadi pada diri kaum khowash ([2]) dewasa ini, maka akan tampak baginya bahwa tauhid ini sudah ditinggalkan, dan tuntunan agama sudah menjadi asing.
       

([1])   Kedua ayat tersebut menunjukkan kebhatilan syirik mulai dari dasarnya, karena makhluk yang lemah ini, yang tidak mempunyai kekuasaan apa-apa, tidak dapat dijadikan sebagai sandaran sama sekali, dan menunjukkan pula bahwa Allah lah yang berhak dengan segala macam ibadah yang dilakukan manusia.
([2])   Kaum Khowash ialah : orang orang tertentu yang ditokohkan dalam masalah agama, dan merasa bahwa dirinya patut diikuti, disegani dan diminta berkah doanya.


Saturday, October 27, 2018

Kenangan Bersama Hujan


Senin, 31 Maret 2014

Alunan khas bunyi rintik-rintik, mengingatkanku pada satu kenangan, cerita bersama dia, dengan indahnya alam kota Malang sebagai saksi. Liburan semester kemarin, aku yang kuliah di Jakarta sedangkan dia yang kuliah di Bandung, butuh momen tertentu agar bisa bertemu, liburan semester misalnya. Kami berencana hendak liburan ke Malang, kami sangat ingin pergi ke Bromo.
Berdua, ini benar-benar momen pertama kali kualami, pergi naik bis sehari dua malam hanya berdua dengannya, tidak pernah ada dalam bayanganku sama sekali. Berjam-jam kulewatkan di dalam bis bersamanya, menikmati pemandangan bersama dan bercengkerama bersama. sesekali kami mengangkat tema berbobot dalam obrolan kami, misalnya tentang negara kita sendiri ini.
Kumulai dengan satu pembicaraan tentang kondisi sosial secara umum dalam kehidupan masyarakat, “Neng, walaupun negara kita ini negara berkembang, aku sangat bersyukur kita sudah bisa dibilang sejahtera secara umum, meski aku pun juga tahu seberapa parahnya ketimpangan yang terjadi di negeri ini.” Entah kenapa aku selalu antusias jika membahas tentang keadaan negaraku sendiri.
Yang kumaksud dengan sejahtera hanyalah pemahaman sederhanaku, bahwa separah apa pun Indonesia, tidak sampi seperti kondisi di India yang baru-baru ini kubaca. Di India sana, sistem kasta masih berlaku, tetapi berbeda dengan sistem kasta zaman dahulu, di zaman modern ini, setiap anak dari kalangan bawah bisa dipastikan akan menapaki jejak orang tuanya, jika orang tuanya seorang penyapu jalanan, sang anak akan meneruskannya di masa dewasanya, jangankan berharap ingin jadi pejabat, hanya untuk merubah nasib saja harus melalui perjuangan melawan norma. Setidaknya, itu yang kutahu dari buku, satu buku perjalanan seseorang mengelilingi dunia.
Kami bercengkerama, sambil menunggu waktunya tiba di titik tujuan, Malang sang empunya Gunung Bromo. Hari begitu cerah selama perjalanan, secerah hatiku yang diterangi sinar terangnya, dia yang duduk di sampingku, hehe...
Cerita dengannya akan selalu menjadi cerita yang tidak akan pernah ada habisnya, habis untuk membahasnya, habis untuk tetap mengenangnya, dan habis untuk menceritakan kepada semua.
Waktu itu begitu spesial dalam hidupku. Yang sejatinya harus kami tuju adalah Bromo, begitupun juga harus benar-benar kami tangguhkan. Setibanya kami di Malang, kutanyakan pada penduduk setempat, rute yang harus kami lewati untuk bisa ke Bromo. Tapi, jawaban yang kami terima bukanlah yang kami harapkan, justru kami harus menghentikan langkah kami melanjutkan perjalanan.
Perjalanan dengan berdua saja tanpa pendamping dan kendaraan, kami sangat beresiko mendapati kejadian yang buruk-buruk, begitu tutur yang kami dapat. Aku, jelas tetap ingin melanjutkan ini, selalu ada Tuhan, dan pasti Tuhan selalu ada. Tapi, berbeda dengannya, ini bukan semata-mata tentang Tuhan, jelas realitanya tidak mendukung untuk kami tetap melanjutkan perjalanan.
Jalan buntu, hendak kemana kami, butuh waktu lama untuk memutuskannya. Akhirnya, kutelepon temanku yang kuliah di Malang, paling tidak, semoga dia bisa membantu kebuntuan kami. Ternyata benar, kebuntuan kami terbuka perlahan, temanku bersedia membantu kami, menemani kami, mengelilingi semua yang ada di Kota Malang.
Temanku bersama seoarang teman membawakan kami motor yang benar-benar tak pernah kubayangkan, motor spesial dari seorang teman untuk kami, pasangan Romeo-Juliet. Haha... Motor khas anak muda yang lengkap dengan segala trend. Ninja disediakan untuk kami tunggangi.
Temanku ini sebenarnya adalah sosok sahabat, aku dan dia sudah lama bersama, dalam satu kisah menapaki dunia ilmu, SMP dan SMA, enam tahun kami bersama, dan selama tiga tahun lamanya kami duduk dalam satu bangku berbagi cerita di dalam kelas.
Kupasrahkan waktuku yang tersisa di Malang pada dia, sahabatku ini. Malang begitu indah, dengan guyuran hujan yang membasahi kami semua. Kota dataran tinggi berkelok-kelok aku menjulukinya. Kami begitu menikmati semua, perjalanan ini, akan selalu terkenang.
Di waktu yang cukup singkat, kami harus berpisah dengan sang sahabat, kami harus melanjutkan perjalanan sendiri, melengkapi kisah yang masih kosong di sisa waktu tersisa.                                                                                                                                                                                                                                             

Thursday, October 25, 2018

Tafsir Al Qurthubi




Pendahuluan
Al-Quran menyebut dirinya sebagai Hudan li al-nas, petunjuk bagi segenap umat manusia. Akan tetapi, petunjuk al-Quran tersebut tidaklah dapat ditangkap maknanya bila tanpa adanya penafsiran. Itulah sebabnya sejak al-Quran diwahyukan hingga sekarang ini gerakan penafsiran yang dilakukan oleh para ulama tidak pernah ada henti-hentinya. Hal ini terbukti dengan banyaknya karya-karya para ulama yang dipersembahkan guna menyingkap dan menguak rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya dengan menggunakan metode dan sudut pandang berlainan.
Tafsir bisa diartikan dengan al-iddahwa al-tabyin, menjelaskan dan menerangkan, atau lebih lengkapnya adalah suatu ilmu yang dengannya kitab Allah dapat dipahami, mengeluarkan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum-hukum serta hikmah-hikmahnya. Dapat juga diartikan dengan ilmu yang membahas al-Quran al-Karim dari segi dalalahnya sejalan dengan apa yang dikehendaki Allah, dalam batas kemampuan manusia. Dengan demikan, tafsir secara sederhana dapat dipahami sebagai usaha manusia dalam memahami al-Quran.
Salah satu dari sekian banyak tafsir yang ada adalah tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Quran karya al-Qurtubi, yang dikenal denganTafsir al-Qurtubi.

A.     Biografi
Nama imam al-Qurthubi adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin ahmad al-Anshari al-Maliki al-Qurthubi (w. 617 H/ 1273 M). beliu lahir dilingkungan keluarga petani dicordoba pada masa kekuasaan Banin Muwahhidun tahun 580 H/ 1184 M.[1]  Informasi tentang kehidupannya sedikit sekali diketahui. Dalam beberapa kitab thabaqat dan tarajim hanya terdapat keterangan sangat singkat mengenai nama, karya dan tahun.
Mengenai sosok Imam al-Qurthubi, Syaikh Adz-Dzahabi menjelaskan “dia adalah seorang imam yang memiliki ilmu yang luas dan mendalam. Dia memiliki sejumlah karya yang sangat bermamfaat dan menunjukkan betapa luas pengetahuannya dan sempurna kepandaiannya”. Beliau meninggal dunia di Mesir pada malam senin, tepatnya pada tanggal 9 Syawal tahun 671 H. makamnya berada di El Meniya, tepatnya pada tanggal 9 Syawal tahun 671 H. makamnya berada di El Meniya, di timur sungai nil dan berbagai kalangan sering kali mengunjungi makamnya. Sehingga pada tahun 1971 M disana dibangun sebuah masjid sekaligus diabadikan nama imam al-Qurthubi pada masjid dengan nama masjid al-Qurthubi.[2]  Jika benar keterangan ‘Ali ‘Iyazi bahwa al-Qurthubi lahir pada 580 H/ 1184 M, maka berarti al-Qurthubi hidup sampai berusia lebih 89 tahun menurut kalender masehi atau kurang lebih 91 tahun berdasarkan tahun hijriah.[3]

B.     Guru-guru al-Quthubi
Di antara guru-guru al-Qurthubi adalah[4] :
1. Ibnu Rawwaj, yaitu al-Imam al-Muhaddits (ahli hadits) Abu Muhammad Abdul Wahhab bin Rawwaj. Nam aslinya adalah Zhafir bin Ali bin Futuh al-Azdi al-Iskandarani al-Maliki. Dia wafat pada tahun 648 H.
2. Ibnu al-Jumaizi[5] , yaitu al-Allamah Baha’uddin Abu al-Hasan Ali bin Hibatullah bin Salamah al-Mashri Asy-Syafi’i. dia wafat pada tahun 649 H. Dia merupakan salah seorang ahli dalam bidang hadits, fikih dan ilmu qira’at.
3. Abu al-Abbas Ahmad bin Umar bin Ibrahim al-Maliki al-Qurthubi, wafat pada tahun 656 H. Dia adalah penulis kitab al-Mufhim fi Syarh Shahih Muslim.
4. Al-Hasan al-Bakari, yaitu al-Hasan bin Muhammad bin Muhammad  bin Amaruk at-Tarimi an-Naisaburi ad-Dimsyaqi, atau biasa dipanggil dengan nama Abu Ali Shadruddin al-Bakari. Dia wafat pada tahaun 656 H.

C.     Karya-karya al-Qurthubi[6]
Para ahli sejarah menyebutkan sejumlah hasil karya al-Qurthubi selain kitabnya yang berjudul Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an, di antaranya adalah:
1.           At-Tadzkirah fi Ahwal Al Mauta wa Umur Al Akhirah, merupakan sebuah kitab yang masih terus dicetak hingga sekarang.
2.           At-Tidzkar fi afdhal Al Adzkar, merupakan sebuah kitab yang masih dicetak hingga sekarang.
3.            Al Asna fi Syarh Asma’illah Al Husna.
4.           Syarh At-Taqashshi.
5.            Al I’lam bi Maa fi Din An-Nashara Min Al Mafashid wa Al Auham  Wa Izhhar Mahasin Din Al Islam.
6.           Qam’u Al Harsh bi Az-Zuhd wa Al Qana’ah.
7.           Risalah fi Alqam Al Hadits.
8.            Kitab Al Aqdhiyyah.
9.           Al Mishbah fi Al Jam’I Baina Al Af’aal wa Ash-Shahhah. Sebuah kitab tentang bahasa Arab yang  merupakan hasil ringkasan Qurthubi terhadap kitab Al Af’al karya Abu Al Qasim Ali bin Ja’far Al Qaththa’ dan kitab aAsh-Shahhah karya Al Jauhari. Dalam kitab tafsirnya, al-Qurthubi juga telah menyebutkan beberapa nama hasil karyanya, di antaranya:
10.       Al Muqtabas fi Syarh Muwaththa’ Malik bin Anas.
11.       Al Luma’ fi Syarh Al ‘Isyrinat An-Nabawiyyah.

D.     Sumber Penafsiran
            Kitab Al-jami’ li-Ahkam al-Qur’an karangan al-Qurthubi dan kebanyakan kitab tafsir lainnya sebenarnya tidak menggunakan satu sumber penafsran saja dari tiga sumber penafsiran yang ada atau yang sudah biasa kita kenal yaitu sumber penafsiranbi al-ma’tsur, bi al-ra’yi, dan bi al-isyari. Namun kita bisa menilai sebuah kitab tafsir dari sumber yang lebih dominan digunakan dalam sebuah kitab tafsir. Dan dalam Kitab Al-jami’ li-Ahkam al-Qur’an karangan al-Qurthubi ini bisa kita definisikansebagai kitab tafsir yang  menggunakan sumber penafsiran bi al-ma’tsur (riwayah), hal ini bisa dibuktikan dari pembahasan yang ada dalam kitab tersebut yang mana lebih banyak menggunakan hadis-hadis Nabi maupun pendapat para sahabat[7].   Selain itu mengutip perkataan al-Qurthubi pada pembahasan muqadimahnya, al-Qurthubi mengatakan kalimat berikut:

وشرطي في هذاالكتاب : إضافة الأقوالإلىقائليهاوالأحاديثإلىمصنفيهافإنهيقالمنبركةالعلمأنيضافالقولإلىقائله
                       
Syarat saya dalam kitab ini adalah menyandarkan semua perkataan kepada orang-orang yang mengatakannya dan hadis-hadis kepada pengarangnya, karena sesunggunhnya dikataan bahwa diantara berkah ilmu adalah menyandarkan perkataan kepada orang yang mengatakannya.[8]
                        Dengan begitu karena al-Qurthubi menggunakan dasar sumber penafsiran bi al-ma’tsur maka al-Qurthubi mengelompokan dasarnya yang meliputi: pertama, penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an yang merupakan dasar utama dan mempunyai kredibilitas yang sangat kuat. Kedua, penafsiran al-Qur’an dengan hadis-hadis Nabi. Bentuk-bentuk varian yang termasuk dalam kelompok ini adalah; penafsiran Nabi tentang ayat –ayat al-Qur’an, jawaban atas pertanyaan para sahabat, penafsiran yang berupa perbuatan Nabi, dan penjelasan makna bahasa al-Qur’an oleh Nabi. Ketiga, penafsiran al-Qur’an dengan pendapat para sahabat. Bentuk penafsiran mereka meliputi; penafsiran ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an lainya olrh sahabat, penafsiran mereka berdasarkan al-sunah, penafsiran merka melalui kaidah bahasa, oleh karena banyak dari kalangan bahasa yang ahli dalam bidang bahasa, penafsiran mereka berdasarkan ijtuhad, disebabkan ketika rasulllah wafat, maka persoalan yang dihadapi sudah tidak dihadapkan kepada beliau lagi, melainkan ijtihad para sahabat. Dan penafsiran para sahabat sudah tidak bisa diragukan lagi karena karena mereka sudah dikenal para ulama sebagai orang-orang yang adil. Oleh karena itu para ulama mufasirin menerima sumber penafiran bi al-ma’tsur dari para sahabat.[9]

E.      Metode Penafsiran
Metode tafsir adalah cara-cara mufasir dalam  mencapai atau menangkap maksud dalam ayat-ayat al-Qur’an. Dan metode yang digunakan oleh al-Qurthubi adalah yaitu metode tahliliy[10]. karena al-Qurthubi mencoba menjelaskan dan memetakan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana yang tercantum didalam mushaf. Bukan berarti dengan tahliliy yang digunakan oleh al-Qurthubi sehingga secara keseluruhan penafsirannya itu bentuk tahliliy, namun metode ijmaliy pun terkadang menjadi cara untuk menafsirkan al-Qur’an yang berarti secara ringkas dan dengan bahasa yang komunikatif. Semisal pada surat Yunus;[11]
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# ôs% Nä3ø?uä!$y_ ×psàÏãöq¨B `ÏiB öNà6În/§ Öä!$xÿÏ©ur $yJÏj9 Îû ÍrߐÁ9$# Yèdur ×puH÷quur tûüÏYÏB÷sßJù=Ïj9 ÇÎÐÈ 
Beliau menafsirkan kata موعظة denagan  وعظ (peringatan), sedangkan kalimat من ربكم yang berarti al-Qur’an. Dan kalimat  ورحمة dimaknai dengan النعمة berarti nikmat. Metode muqaran juga dipakai oleh al-Qurthubi khususnya ketika menafsirkan ayat-ayat ahkam.
Sebagaimana pada uraian sebelumnya, tafsir al-Qurthubi dapat diklasifikasikan dalam tafsir yang menggunakan metode tahlili. Disebut tafsir tahliliy karena ia menggunakan corak uraian mendetail dari beberapa aspeknya: dari ilmu gramatika dan sastra Arab, ilmu sebab Nuzul, nasikh-mansukh dan sebagainya. Namun bila dicermati lebih dalam, sebenarnya metode tafsir semi mawdhu’i.[12] dikatakan sebagai semi mawdhu’I karena dalam penafsiran ayat hukum, al-Qurthubi telah mengkelompokkan ayat hukum tertentu dalam satu tema pembahasan meskipun ia tidak menyebut secara tersurat tema tersebut. Namun kalau kembali menganalisa teori tafsir al-mawdhu’i al-Farmawi, maka tafsir al-Qurthubi belum sepenuhnya termasuk dalam tafsir maudhu’i.[13]
Sebagaimana Al-farmawi membagi beberapa metode Al-Qur’an menjadi empat metode yaitu tahliliy, ijmaly, muqaran, dan maudu’iy. Yang terkenal dari empat metode tersebut adalah metode tahliliy dan maudu’iy. Metode tahliiy atau yang dinamai metode tajzi’iy oleh Baqir Al-Shadr adalah suatu metode tafsir yang mufasirnya menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya dan dari runtututan ayat al-Qur’an sebagaimana yang tercantum dalam mushaf. Dalam metode ini seorang mufasir yang menggunakan metode tahliliy menguraikan bermula dari arti kosa kata yang digunakan, asbab al-nuzul, munasabah dan lain lainya yang berhubungan langsung dengan teks atau kandungan ayat.[14] Sedangkan tafsir ijmali yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara global. Dengan metode ini mufassir hanya berupaya menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan uraian singkat, menggunakan bahasa kominikatif sehingga mudah dicerna bagi bembaca maupun pendengar.

F.       Corak penafsiran
Sesuai dengan namanya, tafsir Al-Jami’ Fi Ahkam Al-Qur’an menafsirkan semua ayat-ayat Al Qur’an, bedanya dengan kitab-kitab tafsir lain ia konsenterasi menafsirkan secara khusus ayat-ayat yang mengandung hukum di dalam Al Qur’an. Tafsir ini merupakan salah satu kitab tafsir terbaik yang menafsirkan ayat-ayat hukum di dalam Al Qur’an. Al-Qurthubi menjelaskan metode yang dipergunakan dalam tafsir-nya, antara lain : menjelaskan sebab turunnya ayat, menyebutkan perbedaan bacaan dan bahasa serta menjelaskan tata bahasanya, mengungkapkan periwayatan hadits, mengungkapkan lafaz-lafaz yang gharib di dalam Al Qur’an, memilah-milih perkataan fuqaha, dan mengumpulkan pendapat ulama salaf dan pengikutnya.Berikut contoh penafsiran  al-Qurtubi memberikan penjelasan panjang lebar mengenai persoalana-persoalan fiqh dapat diketemukakan ketika ia membahas ayat Qs. Al-Baqarah (2): 43: yang ia bagi menjadi 34 masalah. Disini pemakalah mengambil poin masalah dengan nomor urut ke-16 dari 34 masalah yang dibagi al-Qurthubi yaitu tentang kebolehan seorang anak kecil menjadi imam shalat asalkan ia memiliki bacaan yang bagus, berikut perkataan beliau:

Kenam belas: Muslim meriwayatkan dari abu mas’ud, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “mereka diimamami oleh orag yang paling fasih diantara mereka bacaanya terhadap kitab Allah. Jika mereka setara dalam hal bacaan, maka orang yang paling mengetahui sunnah diantara mereka. Jika mereka setara dalam hal sunnah, maka orang yang lebih dahulu hijrahnya. Jika mereka stara dalam hal hijrah, maka orang yang lebih dahulu masuk islam. Janganlah orang menjadikan seseorang (yang lain) sebagai imam didalam kekuasaanya, dan jangan lah dia duduk di rumahnya  diatas tempat tidurnya, kecuali dengan izinya.[15]
Saya (al-Qurthubi) katakan,“mengangkat anak kecil menjadi imam adalah suatu hal yang dibolehkan, jika anak kecil itu adalah seorang yang fasih bacaanya. Tertera dalam shahih bukhari dari amru bin salamah, dia berkata: ‘Kami sering berada di air tempat perlintasan orang-orang, dan kami sering berpapasan dengan pengandara unta. Kami bertanya kepada mereka tentang apa yang terjadi terhadap orang-orang, dan siapakah orang itu? Mereka menjawab: “Lelaki itu mengaku bahwa Allah telah mengutusnya. Allah telah mewahyukan sesuatu kepadanya.” Aku hapal perkataan it, seolah perkataan itu telah terbenam dalam dadaku. Sementara orang-orang arab dinantikan masuk Islamnya. Mereka berkata, “tinggalkanlah orang itu beserta kaumnya. Jika ia menang atas mereka(orang-orang kafir), maka dia adalah seorang nabi yang jujur.”
Ketika penaklukan kota mekah terjadi, maka masing-masing kaum segera masuk Islam. Sementara ayahku segera mendatangi kaumku untuk mengislamkan mereka. Ketika ayahku tiba diaberkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku datang kepada kalian dari sisi Nabi Allah.” Ayahku berkata, “Lakukanlah oleh kalian shalat pada waktu itu. Apabila (waktu) shalat itu tiba, maka hendaklah seorang diantara kalian mengumandangkan adzan, dan hendaklah orang yang paling banyak hafal al-Qur’an diantara kalian mengimamami kalian.
Mereka kemudian saling menatap, namun tidak ada seorangpun yang lebih banyak menghafal al-Qur’an daripada aku, karena aku menerima(nya) dari para pengendara unta itu. Kemudian mereka memajukan aku kehadapan mereka. Saat itu aku adalah anak laki-laki berusia enam atau tujuh tahun. Waktu itu aku memakai mantel. Apabila aku sujud, maka mantel itu menjadi sempit/robek. Seorang wanita dari kalangan penduduk kemudian berkata, “tidakah kalian akan menutupi dubur qari’ kalian dari kami.” Mereka kemudian membeli (kain), lalu mereka membuat(nya) menjadi baju untukku. Aku tidak merasa bahagia seperti kebahagiaanku karena mendapat baju itu.[16]
Demikianlah salah satu contoh peafsiran al-Qurthubi dari sekian banyak contoh yang lainya yang bercorak ahkam atau hukum-hukum.



Penutup
Al Qurthubi adalah salah satu mufassir muslim yang dilahirkan Islam dengan mempunyai pengetahuan luas yang selalu memperjuangkan Islam dibelahan barat dunia. Dengan segenap kemampuannya ia mengumpulkan, dan menghafal  hadits untuk menafsirkan ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum baik itu hukum fikih, ibadah dsb.
Dari persoalan-pesoalan yang telah diuraikan dalam beberapa bab di atas dapat dicatat bahwa, pertama, Al-Qurthubi pengarang kitab tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Quran adalah seorang mufasir yang bermazhab Maliki yang hidup di Andalus. Kedua, tafsir yang ditulisnya tersebut menggunakan sistematika Mushafi, metodeTahlili dan bercorak fiqhi mazhab Maliki dengan tidak terlalu terkait dengan mazhabnya. Ketiga, adanya sejumlah keberatan terhadap model penafsiran yang dilakukan oleh ahli hukum, karena terlalu bersifat atomistis dan harfiah sehingga sering mengaburkan program besar al-Quran sebagai petunjuk dan pengatur seluruh aspek kehidupan.













الآية : 187 {أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ}
فيه ست مسائل :
الأولى : قوله تعالى : {أُحِلَّ لَكُمْ} لفظ "أحل" يقتضي أنه كان محرما قبل ذلك ثم نسخ. روى أبو داود عن ابن أبي ليلى قال وحدثنا أصحابنا قال : وكان الرجل إذا أفطر فنام قبل أن يأكل لم يأكل حتى يصبح ، قال : فجاء عمر فأراد امرأته فقالت : إني قد نمت ، فظن أنها تعتل فأتاها. فجاء رجل من الأنصار فأراد طعاما فقالوا : حتى نسحن ؟ ؟ لك شيئا فنام ، فلما أصبحوا أنزلت هذه الآية ، وفيها : {أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ} . وروى البخاري عن البراء قال : كان أصحاب محمد صلى اللّه عليه وسلم إذا كان الرجل صائما فحضر الإفطار فنام قبل أن يفطر لم يأكل ليلته ولا يومه حتى يمسي ، وأن قيس بن صرمة الأنصاري كان صائما - وفي رواية : كان يعمل في النخيل بالنهار وكان صائما - فلما حضر الإفطار أتى امرأته فقال لها : أعندك طعام ؟ قالت لا ، ولكن أنطلق فأطلب لك ، وكان يومه يعمل ، فغلبته عيناه ، فجاءته امرأته فلما رأته قالت : خيبة لك فلما
نتصف النهار غشي عليه ، فذكر ذلك للنبي صلى اللّه عليه وسلم فنزلت هذه الآية : {أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ} ففرحوا فرحا شديدا ، ونزلت : {وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ} . وفي البخاري أيضا عن البراء قال : لما نزل صوم رمضان كانوا لا يقربون النساء رمضان كله ، وكان رجال يخونون أنفسهم ، فأنزل اللّه تعالى : {عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ} يقال : خان واختان بمعنى من الخيانة ، أي تخونون أنفسكم بالمباشرة في ليالي الصوم. ومن عصى اللّه فقد خان نفسه إذ جلب إليها العقاب. وقال القتبي : أصل الخيانة أن يؤتمن الرجل على شيء فلا يؤدي الأمانة فيه. وذكر الطبري : أن عمر رضي اللّه تعالى عنه رجع من عند النبي صلى اللّه عليه وسلم وقد سمر عنده ليلة فوجد امرأته قد نامت فأرادها فقالت له : قد نمت ، فقال لها : ما نمت ، فوقع بها. وصنع كعب بن مالك مثله ، فغدا عمر على النبي صلى اللّه عليه وسلم فقال : أعتذر إلى اللّه وإليك ، فإن نفسي زينت ؟ ؟ لي فواقعت أهلي ، فهل تجد لي من رخصة ؟ فقال لي : "لم تكن حقيقا يا عمر" فلما بلغ بيته أرسل إليه فأنبأه بعذره في آية من القرآن. وذكره النحاس ومكي ، وأن عمر نام ثم وقع بامرأته ، وأنه أتى النبي صلى اللّه عليه وسلم فأخبره بذلك فنزلت : {عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ} الآية.
الثانية : قوله تعالى : {لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ} "ليلة" نصب على الظرف وهي اسم جنس فلذلك أفردت.والرفث : كناية عن الجماع لأن اللّه عز وجل كريم يكني ، قاله ابن عباس والسدي. وقال الزجاج : الرفث كلمة جامعة لكل ما يريد الرجل من امرأته ، وقال الأزهري أيضا. وقال ابن عرفة : الرفث ههنا الجماع. والرفث : التصريح بذكر الجماع والإعراب به. قال الشاعر :
ويرين من أنس الحديث زوانيا ... وبهن عن رفث الرجال نفار
وقيل : الرفث أصله قول الفحش ، يقال : رفث وأرفث إذا تكلم بالقبيح ، ومنه قول الشاعر :
ورب أسراب حجيج كظم ... عن اللغا ورفث التكلم
وتعدى "الرفث" بإلى في قوله تعالى جده : {الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ} . وأنت لا تقول : رفثت إلى النساء ، ولكنه جيء به محمولا على الإفضاء الذي يراد به الملابسة في مثل قوله : {وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ} [النساء : 21]. ومن هذا المعنى : {وَإِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ} [البقرة : 14] كما تقدم. وقوله : {يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا} [التوبة : 35] أي يوقد ، لأنك تقول : أحميت الحديدة في النار ، وسيأتي ، ومنه قوله : {فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ} [النور : 63] حمل على معنى ينحرفون عن أمره أو يروغون عن أمره ، لأنك تقول : خالفت زيدا. ومثله قوله تعالى : {وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيماً} [الأحزاب : 43] حمل على معنى رؤوف في نحو {بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَحِيمٌ} [التوبة : 128] ، ألا ترى أنك تقول : رؤفت به ، ولا تقول رحمت به ، ولكنه لما وافقه في المعنى نزل منزلته في التعدية. ومن هذا الضرب قول أبي كبير الهذلي :
حملت به في ليلة مزؤودة
كرها وعقد نطاقها لم يحلل
عدى "حملت" بالباء ، وحقه أن يصل إلى المفعول بنفسه ، كما جاء في التنزيل : {حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً} [الأحقاف : 15] ، ولكنه قال : حملت به ، لأنه في معنى حبلت به.
الثالثة : قوله تعالى : {هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ} ابتداء وخبر ، وشددت النون من "هن" لأنها بمنزلة الميم والواو في المذكر. {وأنْتُمُ لِبَاسٌ لَهُنَّ} أصل اللباس في الثياب ، ثم سمي امتزاج كل واحد من الزوجين بصاحبه لباسا ، لانضمام الجسد وامتزاجهما وتلازمهما تشبيها بالثوب. وقال النابغة الجعدي :
إذا ما الضجيع ثنى جيدها ... تداعت فكانت عليه لباسا
وقال أيضا :
لبست أناسا فأفنيتهم ... وأفنيت بعد أناس أناسا
وقال بعضهم : يقال لما ستر الشيء وداراه : لباس. فجائز أن يكون كل واحد منهما سترا لصاحبه عما لا يحل ، كما ورد في الخبر. وقيل : لأن كل واحد منهما ستر لصاحبه فيما يكون بينهما من الجماع من أبصار الناس. وقال أبو عبيد وغيره : يقال للمرأة هي لباسك وفراشك وإزارك. قال رجل لعمر بن الخطاب :
لا أبلغ أبا حفص رسولا ... فدى لك من أخي ثقة إزاري
قال أبو عبيد : أي نسائي. وقيل نفسي. وقال الربيع : هن فراش لكم ، وأنتم لحاف لهن. مجاهد : أي سكن لكم ، أي يسكن بعضكم إلى بعض.
الرابعة : قوله تعالى : {عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ} يستأمر بعضكم بعضا في مواقعة المحظور من الجماع والأكل بعد النوم في ليالي الصوم ، كقوله تعالى : {تَقْتُلُونَ أَنْفُسَكُمْ} [البقرة : 85] يعني يقتل بعضكم بعضا. ويحتمل أن يريد به كل واحد منهم في نفسه بأنه يخونها ، وسماه خائنا لنفسه من حيث كان ضرره عائدا عليه ، كما تقدم. وقوله : {فَتَابَ عَلَيْكُمْ} يحتمل معنيين : أحدهما - قبول التوبة من خيانتهم لأنفسهم. والآخر - التخفيف عنهم بالرخصة والإباحة ، كقوله تعالى : {عَلِمَ أَنْ لَنْ تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ} [المزمل : 20] يعني خفف عنكم. وقوله عقيب القتل الخطأ : {فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ} [النساء : 92] يعني تخفيفا ، لأن القاتل خطأ لم يفعل شيئا تلزمه التوبة منه ، وقال تعالى : {لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالأَنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ} [التوبة : 117] وإن لم يكن من النبي صلى اللّه عليه وسلم ما يوجب التوبة منه. وقوله : {فعَفَا عَنْكُمْ} يحتمل العفو من الذنب ، ويحتمل التوسعة والتسهيل ، كقول النبي صلى اللّه عليه وسلم : "أول الوقت رضوان اللّه وآخره عفو اللّه" يعني تسهيله وتوسعته. فمعنى {عَلِمَ اللَّهُ} أي علم وقوع هذا منكم مشاهدة {فَتَابَ عَلَيْكُمْ} بعد ما وقع ، أي خفف عنكم {وَعَفَا} أي سهل. و {تَخْتَانُونَ} من الخيانة ، كما تقدم. قال ابن العربي : "وقال علماء الزهد : وكذا فلتكن العناية وشرف المنزلة ، خان نفسه عمر رضي اللّه عنه فجعلها اللّه تعالى شريعة ، وخفف من أجله عن الأمة فرضي اللّه عنه وأرضاه".
قوله تعالى : {فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ} كناية عن الجماع ، أي قد أحل لكم ما حرم عليكم. وسمي الوقاع مباشرة لتلاصق البشرتين فيه. قال ابن العربي : وهذا يدل على أن سبب الآية جماع عمر رضي اللّه عنه لا جوع قيس ، لأنه لو كان السبب جوع قيس لقال : فالآن كلوا ، ابتدأ به لأنه المهم الذي نزلت الآية لأجله.
الخامسة : قوله تعالى : {وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ} قال ابن عباس ومجاهد والحكم بن عيينة وعكرمة والحسن والسدي والربيع والضحاك : معناه وابتغوا الولد ، يدل عليه أنه عقيب قوله : {فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ} . وقال ابن عباس : ما كتب اللّه لنا هو القرآن. الزجاج : أي ابتغوا القرآن بما أبيح لكم فيه وأمرتم به. وروي عن ابن عباس ومعاذ بن جبل أن المعنى وابتغوا ليلة القدر. وقيل : المعنى اطلبوا الرخصة والتوسعة ، قاله قتادة. قال ابن عطية : وهو قول حسن. وقيل : {وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ} من الإماء والزوجات. وقرأ الحسن البصري والحسن بن قرة "واتبعوا" من الاتباع ، وجوزها ابن عباس ، ورجح "ابتغوا" من الابتغاء.
السادسة : قوله تعالى : {وَكُلُوا وَاشْرَبُوا} هذا جواب نازلة قيس ، والأول جواب عمر ، وقد ابتدأ بنازلة عمر لأنه المهم فهو المقدم.
































DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul karim
M. Shihab, Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 2014.
Ali Sybromalisi, Faizah, MA. Azizy, Jauhar MA. Membahas Kitab Tafsir Ciputat: LP. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Ibrahim Al-hifnawi, Muhammad .Hamid Utsman, Muhammad.TafsirAl-Qurthubi. Jakarta: Pustaka Azam, 2007.
Al-Qaththa, Manna’ Khalil, Mabahist fi Ulumil Qur’an,(Surabaya: al-Hidayah, 1973).



[1]Sayyid Muhammad Ali Iyazi, Al-Mufassirun: HayatuhumwaManhajuhum, Teheran: Mu’assasah al-Thiba’ahwa al-Nasyr, 1414 H, h. 408
[2]Al-Qashabi Mahmud Zalath, al-QurthubiwaManhajuhum fi Tafsir, kuwait: Dar al-Qalam, 1981, h. 6 dan 30
[3]Mohammad ArjaImroni, Corak Tafsir Ayat Ahkam, Hasil disertai UIN Pasca Sarjana Syarif Hidayatullah, 2008, tidak diterbitkan, h. 54
[4]Lihat al-Qurthubi wa Manhajuhu fi at-Tafsir, hal. 23 dan selanjutnya.
[5]Nama al-Jumaizi ini dinisbatkan kepada al-Jumaiz, nama sebuah pohon yang terkenal.
[6]Al-Qurthubi wa Manhajuhu fi at-Tafsir, h. 23 dan selanjutnya
[7]Faizah Ali Syibromasili, MA, Jauhar Azizy, Ma, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern hal. 22.
[8]Muhammad Ibrahim Al-hifnawi, Muhammad Hamid Utsman, TafsirAl-Qurthubi(Jakarta, Pustaka Azam) hal. 30
[9]Faizah Ali Syibromalisi, MA, JauharAzizy, Ma, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern hal. 24.  
[10]Ibid, hal. 25
[11]Lihat al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, Juz I, h. 353
[12]Lihat mohammad Arja Imroni, Corak Tafsir Ayat Ahkam al-Qurthbi, Disertasi Sekolah Pasca Sarjana UIN Syahid, tidak diterbitkan. H. 239
[13]Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, (ciputat: LP UIN Jakarta, 2010), hal. 25-28.
[14]M. Quraisy shihab, Membumikan Al-Qur’an(Bandung: Mizan, 2014)hal. 130
[15]Muhammad Ibrahim Al-hifnawi, Muhammad Hamid Utsman, TafsirAl-Qurthubi (Jakarta, Pustaka Azam) hal. 776

[16]. Ibid. Hal  778-779