Abu Al-Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd dilahirkan dikota
Cordova, Andalus pada tahun 510 H/1126 M,[1] sekitar
15 tahun wafatnya Al-Ghazali. Ia lebih poluler dengan sebutan Ibnu Rusyd. Orang barat
menyebutnya dengan nama Averrois. Sebutan ini sebenarnya lebih pantas untuk kakeknya. Keturunannya
berasal dari keluarga terhormat yang terkenal dengan tokoh keilmuan. Kakek dan ayahnya
mantan hakim di Andalus dan ia sendiri pada tahun 565 H/1169 M diangkat pula
menjadi hakim di Sevile dan Cordova. Karena prestasinya yang luar biasadalam ilmu hukum, pada tahun 1173 ia dipromosikan
menjadi ketua Mahkamah Agung, Qadhi al-Qudhatdi Cordova.
Ibnu Rusyd tumbuh dan hidup dalam keluarga yang besar sekali ghirah-nya
pada ilmu pengetahuan.Hal ini adalah salah satu factor yang ikut melempangkan
jalan baginya menjadi ilmuan. Factor lain yang lebih dominan bagi keberhasilannya
adalah ketajaman berfikir dan kegeniusan otaknya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan
jika ia dapat mewarisi sepenuhnya intelektualitas keluarganya dan berhasil menjadi
seorang sarjana all-round yang menguasai
berbagai disiplin ilmu, seperti hukum, filsafat, kedokteran, astromi, sastra
Arab, dan lainnya.[2]
Suatu hal yang sangat mengagumkan ialah hampir seluruh hidupnya ia pergunakan
untuk belajar dan membaca. Menurut Ibnu Abrar, walaupun rasanya terlalu fantastis-
sejak mulai berakal Ibnu Rusyd tidak pernah meninggalkan berfikir dan membaca,
kecuali pada malam ayahnya meninggal dan malam perkawinannya.
Khalifah Abu Ya’kub Abu Muhammad
‘Abd Al-Mu’min dari Dinasti Al-Muwahid sangat kagum atas keluasan pandangan dan
ke dalam filsafat Ibnu Rusyd ketika ia diundang ke istana khalifah atas
prakarsa Ibnu Thufail sebagai guru dan sahabatnya. Ia juga berhasil membuat
komentar terhadap filsafat Aristoteles: pendek, sedang, dan panjang.[3]
Demikian bagus dan mengesankan pemahamannya tentang filsafat Aristoteles sehingga
orang tidak perlu membaca naskah aslinya. Cukup membaca komentar Ibnu Rusyd,
orang akan memahaminya bagaikan membaca naskah aslinya. Padahal, ia tidak
menguasai bahasa Yunani, yakni bahasa yang dipakai Aristoteles dalam karyanya.
Untuk keahliannya ini, ia layak diberi gelar kehormatan The Famous
Comentator of Aristotle. Gelar ini pertama kali diberikan oleh Dante
Alagieri, pengarang buku Divine Comedy.[4]Ini
dapat dijadikan bukti tingginya kemampuan Ibnu Rusyd dalam berfilsafat dan
tidak ada duanya dalam mengomentari filsafat Aristoteles.
Kesibukan Ibnu Rusyd sebagai pejabat
negara, -Ketua Mahkamah Agung, guru besar, dan
dokter istana- menggantikan Ibnu Thufail yang sudah tua, tidak menghalanginya
dari menulis, bahkan ia sangat produktif dengan karya-karya ilmiah dalam
beberapa bidang ilmu pengetahuan. Karya-karyanya ini menjadi rujukan pada
setiap bidangnya oleh para ahli. Hal ini merupakan indikasi keluasan wawasan
dan kedalaman ilmunya.
Telah ditemukan bahwa Ibnu Rusyd
seorang pengarang yang produktif. Salah satu kelebihan karya tulisnya ialah
gaya penuturan yang mencakup komentar, koreksi, dan opini sehingga karyanya
lebih hidup dan tidak sekadar deskripsi belaka. Namun, amat disayangkan
karangannya sulit ditemukan dan sekiranya ada sudah diterjemahkan orang kedalam
bahasa Latin dan Hebrew (Yahudi), bukan dalam bahsa aslinya (Arab). Ini semua
akibat tragedi nista yang menimpa dirinya ketika diadili dan dibuang ke Lucena
dimana buku-bukunya yang mengandung filsafat dimusnahkan. Tragedi kedua yang
lebih fatal disaat jatuhnya Andalus ketangan Ferdinant II dan Isabella. Jendral
Ximenes yang fanatik dengan kemenangan Kristen membakar habis buku-buku yang
berbau Arab dan sudah barang tentu buku-buku Ibnu Rusyd ikut didalamnya.
Kendatipun demikian, sampai hari ini
karya tulis Ibnu Rusyd yang masih dapat kita temukan adalah sebagai berikut:
1.
Fashl
al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-Ittishal, berisikan korelasi antara agama dan filsafat.
2.
Al-Kasyf’an
Manahij al-Adillat fi’Aqa’id al-Millat,
berisikan kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi.
3.
Tahafut
al-Tahafut, berisikan kritikan terhadap karya
Al-Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifat.
4.
Biddayat
al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid,
berisikan uraian-uraian dibidang fiqih.
Sehubungan dengan sanggahan yang
mematikan dari Al-Ghazali terhadap para filosof Muslim,-tiga butir diantaranya
para filosof Muslim dihukumnya kafir: kadimnya Allah, Allah tidak mengetaui
yang rincian di alam, dan kebangkitan jasmani diakhirat tidak ada- Ibnu Rusyd
sebagai seorang filosof Muslim merasa wajib menjawab sanggahan tersebut, yang
tidak pula kalah mautnya dari sanggahan Al-Ghazali. Menurut Ibnu Rusyd bukan pemikiran
para filosof Muslim yang rancu, melainkan pemikiran Al-Ghazali sendiri. Justru
itu, kata Ibnu Rusyd, judul buku Al-Ghazali tersebut yang paling tepat adalah Tahafut
Abi Falasifat, kacaunya pemikiran Abu Hamid (Al-Ghazali),bukan Tahafut
al-Falasifat, kacaunya pemikiran para filosof.[5]
Untuk jelasnya dibawah ini kita kedepankan jawaban Ibnu Rusyd dalam tiga butir
maslaah tersebur sebagai berikut:
Menurut Al-Ghazali, sesuai dengan
keyakinan kaum teolog Muslim, Allah menciptakan alam dari tiada menjadi ada (al-ijad
min al-‘adam, creatio ex nihili). Penciptaan dari tiadalah yang memastikan
adanya pencipta. Yang ada tidak butuh kepada yang mengadakan. Justru itulah
alam ini mesti diciptakan dari tiada menjadi ada. Sementara itu, menurut
filosof Muslim, alam ini kadim, dengan arti alam ini diciptakan dari sesuat
(materi) yang sudah ada.
Menurut Ibnu Rusyd, Al-Ghazali
keliru menarik kesimpulan bahwa tidak ada seorang filosof Muslim pun yang
berpendapat bahwa kadimnya alam sama dengan kadimnya Allah, tetapi yang mereka
maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain. Karena
penciptaan dari tiada (al-‘adam), menurut filosof Muslim adalah suatu
yang mustahil dan tidak mungkin terjadi. Dan tidak ada (nihil yang kosong)
tidak bisa terjadi sesuatu. Oleh karena itulah, materi asal alam ini mesti
kadim.[6]
Kelihatannya, menurut pemikiran
Al-Ghazali, pada saat Allah menciptakan alam, yang ada hanyalah Allah sendiri,
dan tidak ada sesuatupun selainnya. Sementara itu, menurut pemikiran para
filosofi Muslim, dikala Allah menciptakan alam sudah ada sesuatu selain Allah.
Dari sesuatu yang sudah ada itulah alam diciptakan Allah.
Untuk mendukung pendapatnya, Ibnu
Rusyd mengemukakan sejumlah ayat Alquran: QS Al-Anbiya [21]:30; Hud [11]:7;
Fushilat [41]:11; dan Al-Mu’minu [23]: 12-14.
Dari keterangan
ayat-ayat diatas dapat disimpulkan bahwa sebelum alam ini diciptakan sudah ada
sesuatu yang lain, yakni ma’ (air) dan Dukhan (uap). Dengan
demikian, menurut Ibnu Rusyd, pendapat para filosof muslim yang sesuai dengan
bunyi ayat, sedangkan pendapat kaum teologi Muslim tidak sesuai dengan arti
lahir ayat, dan dalam hal ini berarti mereka (teolog Muslim) mengambil arti
metaforik, yang seharusnya mengambil arti lahir ayat dan sebaliknya filosof
Muslim yang mengambil arti lahir ayat, yang seharusnya mengambil arti
metaforik.
Menurut Ibnu Rusyd, terjadinya
perbedaan pendapat dalam hal ini disebabkan perbedaan antara kaum teolog muslim
dan kaum filosof muslim dalam memberikan arti kata al-ihdats dan qadim.bagi
kaum teolog Muslim, al-ihdats berarti menciptakan dari tiada, sedangkan
bagi kaum filosof Muslim, kata itu berarti mewujudkan dari ada menjadi ada
dalam bentuk lain. Demikian pula dalam mengartikan arti qadim. Bagi kaum teolog Muslim, qadim berarti
sesuatu yang mempunyai wujud tanpa sebab, sedangkan bagi kaum filosof Muslim, qadim
berarti sesuatu yang kejadiannya dalam keadaan terus-menerus tanpa awal dan
tanpa akhir.
Menurut Al-Ghazali para filosof
Muslim berpendapat bahwa Allah tidak mengetahui yang persial di alam. Dalam
menjawab tuduhan ini, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa Al-Ghazali salah faham sebab
tidak ada para filosof Muslim yang mengatakan demikian. Yang dimaksudkan para
filosof muslim adalah pengetahuan Allah tentang yang persial dialam ini tidak
sama dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan Allah bersifat qadim yakni sejak
azali. Allah mengetahui segala yang terjadi di alam ini, betapapun kecilnya,
sedangkan pengetahuan manusia bersifat baharu. Begitu pula pengetahuan Allah
berbentuk sebab, sedangkan pengetahuan manusia berbentuk akibat.[7]
Dari itu jelaslah perbedaan antara
Al-Ghazali dan para filosof Muslim tentang ilmu Allah. Al-Ghazali terkesan
menyamakan ilmu Allah dengan ilmu manusia, sedangkan para filosof Muslim
terkesan membedakan antara ilmu Allah dengan ilmu manusia. Namun, pada dasarnya
mereka sependapat bahwa Allah Maha Mengetahui (persial dan umum) segala yang
terjadi dialam ini, namun mereka berbeda tentang cara Allah mengetahuinya.
Menurut Ibnu Rusyd sanggahan
Al-Ghazali terhadap para filosof Muslim, tentang kebangkitan di akhirat tidak
ada, adalah tidak benar. Merreka tidak mengatakan demikian. Semua agama, tegas
Ibnu rusyd, mengakui adanya hidup kedua di akhirat, tetapi mereka berbeda
interpretasi mengenai bentuknya. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa
yang akan dibangkitkan hanya rohani dan ada pula yang mengatakan rohani dan
jasmani. Namun yang jelas, kehidupan diakhirat tidak sama dengan
kehidupan didunia ini. Hal ini sesuai dengan hadis: “disana akan dijumpai apa
yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga dan tidak pernah
terlintas dalam fikiran”, dan ucapan Ibnu Abbaas: “Tidak akan dijumpai di
akhirat hal-hal yang bersifat keduniaan kecuali nama saja”. Hidup di akhirat
tentu saja lebih tinggi daripada hidup di dunia.
Namun demikian, Ibnu Rusyd menyadari
bahwa bagi orang awam soal kebangkitan itu perlu digambarkan dalam bentuk
jasmani dan rohani. Karena kebangkitan jasmani bagi orang awam lebih mendorong
mereka untuk melakukan pekerjaan atau amalan yang baik dan menjauhkan pekerjaan atau amalan yang buruk.
Dari uaian diatas dapat disimpulkan
bahwa perbedaan pendapat antara
Al-Ghazali dan para filosof Muslim hanya perbedaan interpretasi tentang ajaran
dasar dalam islam, bukan perbedan antara menerima atau menolak ajaran dasar
tersebut. Dengan arti hanya perbedaan ijtihad antara Al-Ghazali dan filosof
Muslim, atau dengan kata lain, perbedaan otak antara satu orang Muslim dengan otak seorang muslim lain dalam
memahami ayat-ayat tentang kebangkitan di akhirat. Hal ini lumrah terjadi
dikalangan ulama Islam . perbedaan seperti ini tidak akan membawa pada
kekafiran. Lebih lanjut Ibnu Rusyd menekankan Hadis Rasulullah Saw: “siapa yang
benar dalam berijtihad dibidangnya ia mendapat dua pahala dan siapa yang salah
dalam ijtihadnya ia mendapat satu pahala.[8]
Abu Al-Wahid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd dilahirkan
dikota Cordova Andalus pada tahun 510 H/ 1126 M. Sekitar 15 tahun wafatnya
Al-Ghazali. Ia lebih poluler dengan sebutan Ibnu Rusyd.orang barat menyebutnya
dengan nama Averrois.
karya tulis Ibnu Rusyd yang masih
dapat kita temukan adalah sebagai berikut:
5.
Fashl
al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-Ittishal, berisikan korelasi antara agama dan filsafat.
6.
Al-Kasyf’an
Manahij al-Adillat fi’Aqa’id al-Millat,
berisikan kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi.
7.
Tahafut
al-Tahafut, berisikan kritikan terhadap karya
Al-Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifat.
8.
Biddayat
al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, berisikan
uraian-uraian dibidang fiqih.
Ø
Al-Ahwany, Ahmad Fu’ad, “IbnuRusyd”, A History of Muslim
Philosophy, (Wisbaden: Otto Harrossowitz, 1963), hlm. 540
Ø Komentar pendek disebut Talkhis,Komentar tengan disebut Tausih,
komentar panjang disebut Tafsir
Ø Ahmad Fu’ad, Ibnu Rusyd, op.cit., hlm. 542-543
Ø ’Athif Al-Iraqy, Muhammad, al-Naz’a
al-‘Aqliyyat fi falsafat ibn rusyd, (Kairo:
Dar al-Ma’arif), hlm. 78
Ø Harun nasution, Al-Ghazali dan Filsafat,
[1]Ahmad Fu’ad Al-Ahwany, “IbnuRusyd”, A History of
Muslim Philosophy, (Wisbaden: Otto Harrossowitz, 1963), hlm. 540
[2]Ibid, hlm. 540-541
[3]Komentar pendek
disebut Talkhis,Komentar tengan disebut Tausih, komentar panjang
disebut Tafsir
[4]Ahmad Fu’ad, Ibnu
Rusyd, op.cit., hlm. 542-543
[5]Muhammad’Athif
Al-Iraqy, al-Naz’a al-‘Aqliyyat fi falsafat ibn rusyd, (Kairo: Dar
al-Ma’arif), hlm. 78
[6]Harun nasution,
Al-Ghazali dan Filsafat,
[7]Ibn Rusyd, Tahafut,op.cit,
hlm. 711.
No comments:
Post a Comment