Thursday, October 18, 2018

Biografi Ibn Rusyd dan karyanya



Abu Al-Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd dilahirkan dikota Cordova, Andalus pada tahun 510 H/1126 M,[1] sekitar 15 tahun wafatnya Al-Ghazali. Ia lebih poluler dengan sebutan Ibnu Rusyd. Orang barat menyebutnya dengan nama Averrois. Sebutan ini sebenarnya lebih pantas untuk kakeknya. Keturunannya berasal dari keluarga terhormat yang terkenal dengan tokoh keilmuan. Kakek dan ayahnya mantan hakim di Andalus dan ia sendiri pada tahun 565 H/1169 M diangkat pula menjadi hakim di Sevile dan Cordova. Karena prestasinya yang luar  biasadalam ilmu hukum, pada tahun 1173 ia dipromosikan menjadi ketua Mahkamah Agung, Qadhi al-Qudhatdi Cordova.
Ibnu Rusyd tumbuh dan hidup dalam keluarga yang besar sekali ghirah-nya pada ilmu pengetahuan.Hal ini adalah salah satu factor yang ikut melempangkan jalan baginya menjadi ilmuan. Factor lain yang lebih dominan bagi keberhasilannya adalah ketajaman berfikir dan kegeniusan otaknya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika ia dapat mewarisi sepenuhnya intelektualitas keluarganya dan berhasil menjadi seorang sarjana all-round  yang menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti hukum, filsafat, kedokteran, astromi, sastra Arab, dan lainnya.[2]
Suatu hal yang sangat mengagumkan ialah hampir seluruh hidupnya ia pergunakan untuk belajar dan membaca. Menurut Ibnu Abrar, walaupun rasanya terlalu fantastis- sejak mulai berakal Ibnu Rusyd tidak pernah meninggalkan berfikir dan membaca, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan malam perkawinannya.
Khalifah Abu Ya’kub Abu Muhammad ‘Abd Al-Mu’min dari Dinasti Al-Muwahid sangat kagum atas keluasan pandangan dan ke dalam filsafat Ibnu Rusyd ketika ia diundang ke istana khalifah atas prakarsa Ibnu Thufail sebagai guru dan sahabatnya. Ia juga berhasil membuat komentar terhadap filsafat Aristoteles: pendek, sedang, dan panjang.[3] Demikian bagus dan mengesankan pemahamannya tentang filsafat Aristoteles sehingga orang tidak perlu membaca naskah aslinya. Cukup membaca komentar Ibnu Rusyd, orang akan memahaminya bagaikan membaca naskah aslinya. Padahal, ia tidak menguasai bahasa Yunani, yakni bahasa yang dipakai Aristoteles dalam karyanya. Untuk keahliannya ini, ia layak diberi gelar kehormatan The Famous Comentator of Aristotle. Gelar ini pertama kali diberikan oleh Dante Alagieri, pengarang buku Divine Comedy.[4]Ini dapat dijadikan bukti tingginya kemampuan Ibnu Rusyd dalam berfilsafat dan tidak ada duanya dalam mengomentari filsafat Aristoteles.
Kesibukan Ibnu Rusyd sebagai pejabat negara, -Ketua Mahkamah Agung, guru besar, dan dokter istana- menggantikan Ibnu Thufail yang sudah tua, tidak menghalanginya dari menulis, bahkan ia sangat produktif dengan karya-karya ilmiah dalam beberapa bidang ilmu pengetahuan. Karya-karyanya ini menjadi rujukan pada setiap bidangnya oleh para ahli. Hal ini merupakan indikasi keluasan wawasan dan kedalaman ilmunya.

Telah ditemukan bahwa Ibnu Rusyd seorang pengarang yang produktif. Salah satu kelebihan karya tulisnya ialah gaya penuturan yang mencakup komentar, koreksi, dan opini sehingga karyanya lebih hidup dan tidak sekadar deskripsi belaka. Namun, amat disayangkan karangannya sulit ditemukan dan sekiranya ada sudah diterjemahkan orang kedalam bahasa Latin dan Hebrew (Yahudi), bukan dalam bahsa aslinya (Arab). Ini semua akibat tragedi nista yang menimpa dirinya ketika diadili dan dibuang ke Lucena dimana buku-bukunya yang mengandung filsafat dimusnahkan. Tragedi kedua yang lebih fatal disaat jatuhnya Andalus ketangan Ferdinant II dan Isabella. Jendral Ximenes yang fanatik dengan kemenangan Kristen membakar habis buku-buku yang berbau Arab dan sudah barang tentu buku-buku Ibnu Rusyd ikut didalamnya.
Kendatipun demikian, sampai hari ini karya tulis Ibnu Rusyd yang masih dapat kita temukan adalah sebagai berikut:
1.      Fashl al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-Ittishal, berisikan korelasi antara agama dan filsafat.
2.      Al-Kasyf’an Manahij al-Adillat fi’Aqa’id al-Millat, berisikan kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi.
3.      Tahafut al-Tahafut, berisikan kritikan terhadap karya Al-Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifat.
4.      Biddayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, berisikan uraian-uraian dibidang fiqih.

Sehubungan dengan sanggahan yang mematikan dari Al-Ghazali terhadap para filosof Muslim,-tiga butir diantaranya para filosof Muslim dihukumnya kafir: kadimnya Allah, Allah tidak mengetaui yang rincian di alam, dan kebangkitan jasmani diakhirat tidak ada- Ibnu Rusyd sebagai seorang filosof Muslim merasa wajib menjawab sanggahan tersebut, yang tidak pula kalah mautnya dari sanggahan Al-Ghazali. Menurut Ibnu Rusyd bukan pemikiran para filosof Muslim yang rancu, melainkan pemikiran Al-Ghazali sendiri. Justru itu, kata Ibnu Rusyd, judul buku Al-Ghazali tersebut yang paling tepat adalah Tahafut Abi Falasifat, kacaunya pemikiran Abu Hamid (Al-Ghazali),bukan Tahafut al-Falasifat, kacaunya pemikiran para filosof.[5] Untuk jelasnya dibawah ini kita kedepankan jawaban Ibnu Rusyd dalam tiga butir maslaah tersebur sebagai berikut:


Menurut Al-Ghazali, sesuai dengan keyakinan kaum teolog Muslim, Allah menciptakan alam dari tiada menjadi ada (al-ijad min al-‘adam, creatio ex nihili). Penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya pencipta. Yang ada tidak butuh kepada yang mengadakan. Justru itulah alam ini mesti diciptakan dari tiada menjadi ada. Sementara itu, menurut filosof Muslim, alam ini kadim, dengan arti alam ini diciptakan dari sesuat (materi) yang sudah ada.
Menurut Ibnu Rusyd, Al-Ghazali keliru menarik kesimpulan bahwa tidak ada seorang filosof Muslim pun yang berpendapat bahwa kadimnya alam sama dengan kadimnya Allah, tetapi yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari tiada (al-‘adam), menurut filosof Muslim adalah suatu yang mustahil dan tidak mungkin terjadi. Dan tidak ada (nihil yang kosong) tidak bisa terjadi sesuatu. Oleh karena itulah, materi asal alam ini mesti kadim.[6]
Kelihatannya, menurut pemikiran Al-Ghazali, pada saat Allah menciptakan alam, yang ada hanyalah Allah sendiri, dan tidak ada sesuatupun selainnya. Sementara itu, menurut pemikiran para filosofi Muslim, dikala Allah menciptakan alam sudah ada sesuatu selain Allah. Dari sesuatu yang sudah ada itulah alam diciptakan Allah.
Untuk mendukung pendapatnya, Ibnu Rusyd mengemukakan sejumlah ayat Alquran: QS Al-Anbiya [21]:30; Hud [11]:7; Fushilat [41]:11; dan Al-Mu’minu [23]: 12-14.
Dari keterangan ayat-ayat diatas dapat disimpulkan bahwa sebelum alam ini diciptakan sudah ada sesuatu yang lain, yakni ma’ (air) dan Dukhan (uap). Dengan demikian, menurut Ibnu Rusyd, pendapat para filosof muslim yang sesuai dengan bunyi ayat, sedangkan pendapat kaum teologi Muslim tidak sesuai dengan arti lahir ayat, dan dalam hal ini berarti mereka (teolog Muslim) mengambil arti metaforik, yang seharusnya mengambil arti lahir ayat dan sebaliknya filosof Muslim yang mengambil arti lahir ayat, yang seharusnya mengambil arti metaforik.
Menurut Ibnu Rusyd, terjadinya perbedaan pendapat dalam hal ini disebabkan perbedaan antara kaum teolog muslim dan kaum filosof muslim dalam memberikan arti kata al-ihdats dan qadim.bagi kaum teolog Muslim, al-ihdats berarti menciptakan dari tiada, sedangkan bagi kaum filosof Muslim, kata itu berarti mewujudkan dari ada menjadi ada dalam bentuk lain. Demikian pula dalam mengartikan arti qadim.  Bagi kaum teolog Muslim, qadim berarti sesuatu yang mempunyai wujud tanpa sebab, sedangkan bagi kaum filosof Muslim, qadim berarti sesuatu yang kejadiannya dalam keadaan terus-menerus tanpa awal dan tanpa akhir.

Menurut Al-Ghazali para filosof Muslim berpendapat bahwa Allah tidak mengetahui yang persial di alam. Dalam menjawab tuduhan ini, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa Al-Ghazali salah faham sebab tidak ada para filosof Muslim yang mengatakan demikian. Yang dimaksudkan para filosof muslim adalah pengetahuan Allah tentang yang persial dialam ini tidak sama dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan Allah bersifat qadim yakni sejak azali. Allah mengetahui segala yang terjadi di alam ini, betapapun kecilnya, sedangkan pengetahuan manusia bersifat baharu. Begitu pula pengetahuan Allah berbentuk sebab, sedangkan pengetahuan manusia berbentuk akibat.[7]
Dari itu jelaslah perbedaan antara Al-Ghazali dan para filosof Muslim tentang ilmu Allah. Al-Ghazali terkesan menyamakan ilmu Allah dengan ilmu manusia, sedangkan para filosof Muslim terkesan membedakan antara ilmu Allah dengan ilmu manusia. Namun, pada dasarnya mereka sependapat bahwa Allah Maha Mengetahui (persial dan umum) segala yang terjadi dialam ini, namun mereka berbeda tentang cara Allah mengetahuinya.

Menurut Ibnu Rusyd sanggahan Al-Ghazali terhadap para filosof Muslim, tentang kebangkitan di akhirat tidak ada, adalah tidak benar. Merreka tidak mengatakan demikian. Semua agama, tegas Ibnu rusyd, mengakui adanya hidup kedua di akhirat, tetapi mereka berbeda interpretasi mengenai bentuknya. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan hanya rohani dan ada pula yang mengatakan rohani dan jasmani. Namun yang jelas, kehidupan diakhirat tidak sama dengan kehidupan didunia ini. Hal ini sesuai dengan hadis: “disana akan dijumpai apa yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga dan tidak pernah terlintas dalam fikiran”, dan ucapan Ibnu Abbaas: “Tidak akan dijumpai di akhirat hal-hal yang bersifat keduniaan kecuali nama saja”. Hidup di akhirat tentu saja lebih tinggi daripada hidup di dunia.
Namun demikian, Ibnu Rusyd menyadari bahwa bagi orang awam soal kebangkitan itu perlu digambarkan dalam bentuk jasmani dan rohani. Karena kebangkitan jasmani bagi orang awam lebih mendorong mereka untuk melakukan pekerjaan atau amalan yang baik dan  menjauhkan pekerjaan atau amalan yang buruk.
Dari uaian diatas dapat disimpulkan bahwa perbedaan pendapat  antara Al-Ghazali dan para filosof Muslim hanya perbedaan interpretasi tentang ajaran dasar dalam islam, bukan perbedan antara menerima atau menolak ajaran dasar tersebut. Dengan arti hanya perbedaan ijtihad antara Al-Ghazali dan filosof Muslim, atau dengan kata lain, perbedaan otak antara satu orang Muslim  dengan otak seorang muslim lain dalam memahami ayat-ayat tentang kebangkitan di akhirat. Hal ini lumrah terjadi dikalangan ulama Islam . perbedaan seperti ini tidak akan membawa pada kekafiran. Lebih lanjut Ibnu Rusyd menekankan Hadis Rasulullah Saw: “siapa yang benar dalam berijtihad dibidangnya ia mendapat dua pahala dan siapa yang salah dalam ijtihadnya ia mendapat satu pahala.[8]



Abu Al-Wahid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd dilahirkan dikota Cordova Andalus pada tahun 510 H/ 1126 M. Sekitar 15 tahun wafatnya Al-Ghazali. Ia lebih poluler dengan sebutan Ibnu Rusyd.orang barat menyebutnya dengan nama Averrois.
karya tulis Ibnu Rusyd yang masih dapat kita temukan adalah sebagai berikut:
5.      Fashl al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-Ittishal, berisikan korelasi antara agama dan filsafat.
6.      Al-Kasyf’an Manahij al-Adillat fi’Aqa’id al-Millat, berisikan kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi.
7.      Tahafut al-Tahafut, berisikan kritikan terhadap karya Al-Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifat.
8.      Biddayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, berisikan uraian-uraian dibidang fiqih.













Ø  Al-Ahwany, Ahmad Fu’ad,  “IbnuRusyd”, A History of Muslim Philosophy, (Wisbaden: Otto Harrossowitz, 1963), hlm. 540
Ø  Komentar pendek disebut Talkhis,Komentar tengan disebut Tausih, komentar panjang disebut Tafsir
Ø  Ahmad Fu’ad, Ibnu Rusyd, op.cit., hlm. 542-543
Ø  ’Athif Al-Iraqy, Muhammad,  al-Naz’a al-‘Aqliyyat fi falsafat ibn rusyd, (Kairo: Dar al-Ma’arif), hlm. 78
Ø  Harun nasution, Al-Ghazali dan Filsafat,


[1]Ahmad Fu’ad Al-Ahwany, “IbnuRusyd”, A History of Muslim Philosophy, (Wisbaden: Otto Harrossowitz, 1963), hlm. 540
[2]Ibid, hlm. 540-541
[3]Komentar pendek disebut Talkhis,Komentar tengan disebut Tausih, komentar panjang disebut Tafsir
[4]Ahmad Fu’ad, Ibnu Rusyd, op.cit., hlm. 542-543
[5]Muhammad’Athif Al-Iraqy, al-Naz’a al-‘Aqliyyat fi falsafat ibn rusyd, (Kairo: Dar al-Ma’arif), hlm. 78
[6]Harun nasution, Al-Ghazali dan Filsafat,
[7]Ibn Rusyd, Tahafut,op.cit, hlm. 711.
[8]Ibnu Rusyd, Fashl,op.cit., hlm. 44

No comments:

Post a Comment