Thursday, October 18, 2018

hermeneutik

Inti fenomenologi Husserl, termasuk metode reduksi "epoche" dan juga "eidetic"
Istilah fenomenologi sendiri sebenarnya berasal dari kata  fenomena (phainesthai) dan logos.  Dengan demikian bisa kita tarik bahwa fenomenologi adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak dan apa yang menampakkan diri atau fenomen. Fenomen adalah realitas tampak yang sama sekali lain. Inti penekanan dalam metode fenomenologi yang ia tawarkan adalah “deskripsi murni terhadap objek atau tindakan apapun yang tampak atau nyata dalam medan kesadaran”.
Lebih lanjut fenomenologi merupakan usaha untuk memahami kesadaran dari sudut pandang subjektif orang terkait. Artinya, berusaha berfokus pada sebuah pemahaman kesadaran pengalaman subjektif orang pertama. Fenomenologi berusahaapa yang anda pikirkan, rasakan dan lakukan, sekali lagi dari sudut pandang orang pertama. Metode fenomenologi selalu mengarah ke luar atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Konsep akan makna pun sungguh sangat di tekankan
Fenomenologi menjadi penyebab munculnya kesadaran intensional. Intensionalitas merupakan keterarahan kesadaran (directedness of consciousness) dan juga merupakan keterarahan tindakan, yakni tindakan yang bertujuan pada sesuatu hal. Setiap kesadarandan pikiran selalu memiliki intensionalnya.
Intinya memang bahwa fenomeneologi Husserl ingin menganalisis dunia sebagaimana objek mengalami secara subjektif atau mengguanakan pengalamannya sendiri tanpa ada penilaian dari pihak luar dirinya.
            Berangkat dari asumsi tersebut Husserl kemudian merumuskan dua konsep yang kemudian menjadi landasan utama dalam kajian fenomenologi. Kenapa dua metode ini dilakukan? Supaya mencapai esensi fonomenologinya. Dua konsep tersebut adalah epochè dan eiditic vision.
a.         Epochè vision.
Kata epochè berasal dari bahasa Yunani berarti “menunda semua penilaian” atau “pengurungan” (bracketing). Hal ini berarti bahwa fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Karena pada dasarnya membawa konsep-konsep dan konstruk-konstruk pandangan adalah sesuatu yang mempengaruhi dan merusak hasil penilaian.
b.     Eidetis
Maksud reduksi ini ingin menemukan eidos, intisari; atau sampai kepada wesen-nya (hakikat). Karena itu, reduksi ini juga disebut : wesenchau; artinya di sini juga kita melihat hakikat sesuatu. Hakikat yang dimaksud Husserl bukan dalam arti umum, misalnya: “manusia adalah hakikatnya dapat mati”; bukan suatu inti yang tersembunyi, misalnya: “hakikat hidup”; bukan pula hakikat seperti yang dimaksud Aristoteles, seperti: “manusia adalah binatang yang berakal”. Hakikat yang dimaksud Husserl adalah struktur dasariah, yang meliputi: isi fundamental, ditambah semua sifat hakiki, ditambah semua relasi hakiki dengan kesadaran dengan objek lain yang disadari. Tujuan sebenarnya dari reduksi adalah untuk mengungkap struktur dasar (esensi, eidos, atau hakikat) dari suatu fenomena (gejala) murni atau yang telah dimurnikan. Oleh karena itu, dalam reduksi eidetis yang harus dilakukan adalah jangan dulu mempertimbangkan atau mengindahkan apa yang sifatnya aksidental atau eksistensial itu. Caranya adalah dengan “menunda dalam tanda kurung”. Dengan reduksi eidetis ini dimana dalam khayalan semua perbedaan-perbedaan dari sejumlah item dihilangkan sehingga tinggal saja suatu esensi.

Perbedaan heidegger dengan husserl
Fenomenologi telah membuka bidang pemahaman fenomena pra-konseptual. Ia berusaha melihat fenomen sebagai realitas yang menampakkan diri apa adanya. Artinya, tanpa kita menafsirkan fenomen-fenomen itu. Ini adalah penemuan baru Husserl. Meskipun demikian, bidang yang baru ini memiliki perbedaan yang sangat signifikan antara Heidegger dan Husserl. Pendekatan Husserl terarah pada fungsi kesadaran sebagai subyektivitas transendental. Kesadaran kita, menurut Husserl selalu terarah pada sesuatu di luarnya (sadar akan sesuatu). Sedangkan Heidegger justru melihat media vital historisitas “keber-ada-an” manusia di dunia. Menurutnya, kesadaran bukan sekedar kesadaran akansesuatu, melainkan kesadaran dalam/sebagai sesuatu. Apa maksudnya? Kita tidak sekedar menyadari sesuatu, melainkan sesuatu itu turut membentuk kesadaran kita. Kita tidak hanya sadar hidup di suatu dunia, tetapi juga sadar bahwa dunia ini turut membentuk kita yang ada di dalamnya. Arah pendekatan Heidegger adalah keberadaan manusia itu sendiri. Heidegger berpandangan bahwa fakta keberadaan merupakan persoalan yang lebih mendasar dari pada kesadaran dan pengetahuan manusia. Ada lebih utama dari kesadaran, karena kesadaran hanyalah cara Ada menampakkan diri. Ini berbeda dengan Husserl yang menganggap keberadaan Ada sebagai datum kesadaran.
Perbedaan fenomenologi Husserl dengan metode fenomenologis Heidegger dapat diringkas dalam kata “hermeneutik” itu sendiri. Term ini tidak pernah digunakan Husserl untuk merujuk pada karyanya, sementara Heidegger mengatakan bahwa dimensi otentik metode fenomenologi membuat karyanya (Being and Time) bersifat hermeneutis; proyeknya dalam Being and Time adalah “hermeneutik Dasein”. Term tersebut mengasumsikan adanya bias anti sains yang bisa membedakan secara nyata Heidegger dengan Husserl. Filsafat dalam pegertian Husserl secara mendasar masih sains, suatu ilmu yang kaku, sementara bagi Heidegger filsafat menjadi pemikiran historis, penemuan kretif masa lalu.
Garis pembeda antara dua tipe fenomenologi di atas, secara jelas tergambarkan pada persoalan yang lain yaitu “historisitas”. Menurut Heidegger, Fenomenologi Husserl hanya  mengelaborasi “pola yang telah di bentuk oleh Descartes, Kant, dan Fichte. Di sini historisitas masih asing”. Heidegger berusaha  mengatasi  filsafat modern yang berpoporos pada kesadaran atau subyektivitas. Misalnya dalam Descartes, kenyataan atau ada itu diciptakan oleh kesadaran. Jika aku menyadari danau di luar diriku maka danau itu ada. Pandangan semacam ini yang ditolak Heidegger. Kesadaran yang ditemukan Descartes itu bukanlah segala-galanya sebagaimana dipikirkan oleh Descartes, melainkan hanyalah salah satu cara Ada menampakkan diri dalam sejarah Ada (historisitas Ada). Apa itu sejarah Ada? Kita harus membayangkan seluruh manusia dan alam semesta ini sebagai suatu cerita tentang penampakan diri Ada dalam berbagai maknanya. Dalam penggalan tertentu yang kita sebut ‘zaman modern’, Ada lebih ditangkap sebagai kesadaran atau subyektivitas. Tetapi ini tidak berlaku untuk segala zaman. Heidegger menawarkan strategi lain dalam mendekati fenomen kesadaran: membuka diri terhadap Ada dan membiarkan Ada tampak apa adanya. Karena itu fenomenologi tidak sekedar untuk membuka kesadaran manusia belaka tapi juga sebagai sarana umtuk mendekati Ada dalam seluruh faktisitas dan historisitasnya.
Keterlemparan
Salah satu yang berhubungan dengan keterlemparan ini adalah apa yang oleh Heidegger disebut dengan suasana hati (mood/Stimmung). Berbeda dengan suasana hati dalam artian biasa, yang berarti kondisi mental seseorang. Suasana hati dalam pemikiran Heidegger adalah cara pandang tertentu terhadap dunia dan itu mempengaruhi sikap Dasein terhadap dunia dan responnya terhadap pengada lain.
Suasana hati bererbeda dengan emosi. Emosi bisa dikontrol, dan dapat dicari tahu penyebabnya, namun suasana hati adalah faktisitas. Dia bisa datang kapan saja, tanpa ada kontrol. Selain itu emosi selalu mengarah pada sesuatu (pengada yang lain), sedangkan suasan hati tidak. Anda bisa sedih karena anda ditolak pacar anda, namun rasa cemas yang tiba-tiba datang saat anda menjalani keseharian anda, saat anda merasa dunia ini begitu absurd tanpa makna, adalah perasaan yang tanpa obyek. Itulah suasana hati (begitu juga saat anda bahagia, bukan merasa senang! Anda bahagia karena tidak tahu oleh apa, kebahagiaan dalam suasana hati adalah kebahagiaan tanpa objek).
Suasana hati menurut Heidegger adalah salah satu cara untuk mengungkap tabir Ada, yang suka menyembunyikan dan memunculkan dirinya (karena itulah Heidegger suka menggunakan istilah altheia yang berarti mengungkap sekaligus menyembunyi) dengan menghayatinya. Heidegger membahasakan hal ini dengan bahasa yang tidak umum tapi lebih cocok, yaitu Befindlichkeit, atau ketersituasian. Dasein hidup dalam ketersituasiannya. Ketersituasiannya membuat Daseinsadar akan dunianya dan mengungkapkan kembali bahwa ada-nya-dia itu terlempar di dunia ini. “Fenomena ini membuat hal itu menjadi tampak (Ada-nya) 
Temporalitas
Dalam bagian kedua Being and Time, Heidegger mengajukan pendapat untuk menempatkan makna ontologis “perhatian” (care) sebagai temporalitas. la menunjukkan bahwa hakikat Dasein paling tepat dipahami sebagai temporalitas. Ketika membaca Heidegger, temporalitas seharusnya tidak dipahami dalam arti kronologis. Sebaliknya, temporalitas merupakan gerakan proses menjadi dari Dasein (the movement of Dasein’s becoming). Hal ini berarti bahwa kita selahi bergerak menuju masa depan kita. Dalam menjalani proses ini, kita sedang menjadi siapa diri kita. Kita menjadi hadir bagi diri kita. Temporalitas yang merupakan hal fundamental bagi Dasein, menunjukkan kepada kita keterbatasan kita.

Inti dari hermeneutik heidegger
Pemikiran Heidegger sangat kental dengan nuansa fenomenologis, meskipun akhirnya Heidegger mengambil jalan menikung dari prinsip fenomenologi yang dibangun Husserl. Fenomenologi Husserl lebih bersifat epistemologis karena menyangkut pengetahuan tentang dunia, sementara fenomenologi Heidegger lebih sebagai ontologi karena menyangkut kenyataan itu sendiri. Heidegger menekankan, bahwa fakta keberadaan merupakan persoalan yang lebih fundamental ketimbang kesadaran dan pengetahuan manusia, sementara Husserl cenderung memandang fakta keberadaan sebagai sebuah datum keberadaan.

No comments:

Post a Comment