Sejarah masuknya Islam di Indonesia adalah sejarah tentang toleransi, akulturasi, dan inklusivitas.
Syahdan, tersebutlah Abdul Rauf al-Singkili. Ia lahir di Singkil, Aceh, pada 1615. Nenek moyangnya berasal dari Persia, yang pindah ke Singkil pada akhir abad ke-13. Mula-mula belajar agama dari ayahnya, Rauflalu menetap di Timur Tengah selama 19 tahun dan belajar agama di sana. Belakangan, ia dikenal sebagai penyebar Islam di pantai barat Sumatera.
Meski mendapat ilmu agama dari ulama ortodoks, Rauf pandai membawa diri. Dalam periode dakwahnya, Kerajaan Aceh dipimpin empat raj a perempuan. Tapi Rauf tak pernah mempersoalkan kepemimpinan wanita betapapun itu bertentangan dengan ajaran yang diyakininya.
Datuk Ri Bandang lain lagi. Penyebar agama di Makassar, Sulawesi Selatan, itu menyebarkan Islam dengan cara yang sangat rileks. Ia tidak pernah mempersoalkan penduduk yang gemar minum arak dan berjudi. Jika mereka mau mengucapkan syahadat, baginya, itu sudah cukup.
Ciri akulturasi lain adalah kentalnya elemen mistis pada para penyebar agama itu. Waliyah Zainab, penyebar Islam lain di Gresik, Jawa Timur, pada abad ke-16, dipercaya kerap bepergian dengan mengendarai kelopak bunga pohon kelapa. Ri Tiro, ulama tasawuf yang menyebarkan Islam di Bulukumba, Sulawesi Selatan, diyakini bisa mendatangkan air hanya dengan menancapkan tongkat ke tanah.
Menjalani hidup yang penuh warna, sebelas wali Nusantara yang diangkat majalah ini memang tak banyak dibicarakan-setidaknya dibanding Wali Sanga, yang sudah sangat terkenal.
Memang banyak versi cerita tentang masuknya Islam ke Indonesia. Ada ahli yang menyebutkan Islam dibawa pedagang dari Gujarat, India. Versi lain mengatakan Islam dibawa dari Mesir, Irak, Persia, Bengali, Kelantan, bahkan Campa dan Cina. Semua teori memiliki argumen arkeologisnya sendiri-sendiri. Menurut peneliti Azyumardi Azra, kepulauan Nusantara merupakan titik silang dari pergerakan para penyebar Islam tersebut.
Satu benang merah yang bisa dipelajari dari para penyebar religi itu adalah kesadaran akan pentingnya kebudayaan lokal. Itulah sebabnya praktik saling mempengaruhi antara Islam dan kebudayaan lokal tak terhindarkan. Praktik akulturasi, bahkan sinkretisme, itu berlangsung terns untuk waktu yang lama.
Di Sumatera Barat, gugatan untuk mengembalikan kemumian agama kemudian datang dari kaum Padri pada 1803-1837. Dipimpin Tuanku Imam Bonjol, kaum Padri melihat kelemahan lain pada kelompok adat: korup dan kolaboratif terhadap penguasa kolonial.
Terlepas dari konteks politik itu, pertanyaannya: adakah dan apakah ajaran yang mumi tersebut? Pertanyaan itu belakangan diajukan kembali oleh para sarjana Islam abad ke-21. Di Indonesia, salah satu yang terkenal adalah Nurcholish Madjid.
Bagi Cak Nur-demikian Nurcholish biasa disapa-Islam mula-mula muncul sebagai ajaran keselamatan. Dengan kata lain, Islam adalah pesan universal yang longgar dan berlaku umum. Anjuran Islam agar manusia bertakwa tidak diukur dari ibadah ritual yang diperintahkan belakangan, tapi dari kewajiban untuk menghargai sesama: menghormati ibu, menyantuni fakir miskin, dan tidak menghardik anak yatim. Beratus tahun setelah Nabi Muhammad wafat, lewat pelbagai proses politik dan sosial, barulah Islam menjadi organized religion- dengan pranata, struktur, dan hierarki di dalamnya.
Mun'im Sirry, sarjana Indonesia yang kini mengajar di University of Notre Dame, Amerika Serikat, memisahkan Islam teologis dan Islam historis. Lewat pelbagai studi kesejarahan, Mun'im menemukan diskoneksi antara teologi Islam dan sejarah Islam yang kerap diklaim para ulama. Dengan kata lain, baik Nurcholish maupun Mun'im menolak adanya Islam yang mumi. Bagi keduanya, ajaran Islam tak bisa dilepaskan dari proses sejarah.
Di tengah bangkitnya konservatisme pemeluk agama, gugatan kedua sarjana itu layak direnungkan kembali. Kehendak sebagian umat Islam untuk mengembalikan kemumian agama, termasuk dengan cara kekerasan, karena itu, tidak relevan lagi. Maraknya pengajian di kalangan masyarakat hendaknya disyukuri hanyajika ia menghadirkan kebajikan universal bagi orang ramai. Kita patut cemas jika sebaliknya yang terjadi: meluasnya eksklusivisme pemeluk agama, termasuk dengan memusuhi mereka yang dianggap tidak "mumi".
Para wali Nusantara sesungguhnya telah mempraktikkan apa yang disampaikan para sarjana Islamabad ke-21 itu: Islam sebagai proses sosial dan proses kultural. Yang juga penting: Islam merupakan rahmat bagi alam semesta ketika ia menghargai perbedaan, bersedia berinteraksi dengan keyakinan lain, dan tidak menganggap kebenaran hanya datang dari diri sendiri.
Inspirasi Wawasan
Blog Ini Merupakan Bahan Bacaan Untuk Menambah Wawasan
Wednesday, February 10, 2021
Sunday, December 16, 2018
Dokumentasi Silaturrahmi Akbar
Subscribe to:
Posts (Atom)